9

0 0 0
                                    

Pagi menjelang, seperti pada hari-hari sebelumnya, Elfina bersekolah. Bel masuk telah berbunyi, seluruh murid telah masuk terkumpul di ruang kelas masing-masing.

"Gibran Gunawan?"

"Izin Pak!" Halim berseteru dari barisan belakang. Gibran merupakan siswa penduduk bangku belakang, ia bersama teman-teman lainnya sering melakukan aksi lawakan, begitulah sebabnya hingga barisan belakanglah kelas menjadi ramai.

Elfina menghentikan pergerakannya mempersiapkan buku catatan. Ia mengerjap kosong. Menatap papan tulis yang belum ternodai tinta spidol terhalangi guru di depannya. Bibirnya mendadak kelu tak bersua. Beberapa kali Gibran memang senang membolos, tetapi, membolos di hari seperti ini, terlebih akan adanya ulangan harian, bukankah itu sedikit aneh?

"Alasan?" Pak guru yang sedang mengabsen bertanya.

"Sakit katanya, nanti jam istirahat, surat izinnya nyusul Pak." Halim kembali membalas sekenanya.

Guru Fisika itu mengangguk, kemudian memulai pelajaran seperti biasa.

Elfina tidak bisa menahan diri untuk tidak berharap sore cepat datang, agar ia bisa menemui Arief dan bertanya langsung pada lelaki berkacamata itu. Pikiran lain terbesit memasuki logika Elfinata. Elfina melupakan beberapa hal mengenai 'keberadaan' Arief. Keberadaan yang seharusnya terlihat karena mereka berada di satu sekolah yang sama.

Pandangan Elfina mulai tidak bisa lurus dan fokus menatap papan tulis. Jari-jemarinya bergerak memainkan pulpen yang seharusnya ia gunakan untuk menulis rangkuman. Dari awal, sedari pertama mereka bertemu, Elfina tidak pernah mengetahui apa pun tentang Arief, kecuali fakta bahwa mereka sering bertemu sore hari di tempat yang sama.

Bel istirahat berbunyi, tak menunggu waktu lama. Elfina segera bangkit. Berjalan tergesa menuju kelas sebelas lain, jantung perempuan berambut pendek itu berdentum keras oleh alasan yang Elfina sendiri tidak mengerti adanya. Elfina hanya merasa takut, akan kenyataan bahwa...

....bagaimana bila selama ini Arief berbohong bahwa mereka berada pada sekolah yang sama?

"Mau nyari siapa?"

Elfina menatap papan atas pintu yang terlukis besar 11 MIPA 3. Perempuan itu memandang laki-laki di depannya tanpa keraguan, karena terlalu banyak pikiran tidak baik berkeliaran, sikap Elfina yang penuh kehati-hatian tiap kali berbicara pada lawan jenis, seketika berubah berani.

"Apa di kelas ini, ada yang namanya Arief?"

Lawan bicaranya terlihat berpikir, "Kayaknya nggak ada deh."

Elfina mengangguk, tersenyum sopan, "Makasih."

11 MIPA 2 pun tetap sama pada jawaban 'nggak ada'. Elfina mengerutkan kening, ataukah selama ini Elfina tidak pernah tahu akan kelas berapa sebenarnya Arief itu? Perempuan tersebut tidak pernah bertanya, pula, tidak pernah mencari tahu atau pun ingin tahu. Mereka bertemu hanya untuk berbicara hal-hal yang tidak penting, tidak! bukan! Kepala Elfina berdengung. Mereka bukan membicarakan hal yang tidak penting, tetapi, hanya membicarakan soal Elfina, hanya membicarakan tentang Elfinata. Sorot perempuan itu mulai berkabut.

Bagaimana bisa mereka sering menghabiskan waktu bersama, namun, tak sedikit pun Elfina mengetahui tentang Arief?

11 MIPA 1.

Langkah Elfina terhenti, seorang perempuan tinggi berambut ikat satu yang kebetulan sedang berdiri di depan pintu, menoleh pada Elfina. Elfina mulai menunjukkan kesopanannya. "Gue boleh minta tolong? Bisa panggilin yang namanya Arief?"

Perempuan itu menunjukkan ekspresi bingung, "Arief? Oh maksud kamu yang duduk di situ?" Ia menjawab bertanya, sembari mengedarkan pandangan memberi isyarat pada Elfina, bahwa pria yang sedang duduk di kursi belakang adalah orang yang dimaksud Elfina.

Elfina tersenyum lebar, perasaan lega memenuhi bagian-bagian organ dalamnya. Merasa bahwa omong kosong yang ia pikirkan menjadi luluh-lantak berserakan, dan itu merupakan hal bagus. Kemudian, ketika Elfina memalingkan pandangan menatap yang ditunjuk perempuan ikat satu itu, senyum Elfina memudar.

Nyatanya bukan.

Arief yang Elfina maksud, bukan, Arief yang ada pada 11 MIPA 1.

Dan begitu saja, waktu bergulir dengan cepat hingga bel pulang sekolah berbunyi nyaring.

Kesekian kali, Elfina menemukan sepasang mata kelam berbalut kacamata menatapnya dalam sekaligus dingin itu. Cara berjalannya menunjukkan keangkuhan yang khas, pada akhirnya mereka duduk di kursi panjang dekat pepohonan rindang setiap pulang sekolah.

Keheningan menyelimuti suasana mereka berdua, dan itu bukan masalah. Pandangan Elfina menurun, atensinya jatuh pada punggung tangan Arief yang terplester asal. Luka setengah tertutup yang mudah ditebak Elfina, bahwa luka tersebut berasal akibat telah memukul suatu benda keras. Jemari feminim Elfina bergerak, menyentuh telapak tangan kanan Arief, membawanya pada genggaman amatir.

"Lo yang udah bikin Gibran nggak masuk kelas?" Pertanyaan itu pun lolos begitu saja dari bibir Elfinata.

Sedetik, Arief mengganti genggaman amatir Elfina dengan genggaman lelaki itu yang kuat dan... terlalu erat. Pandangan mata mereka bertemu. Iris gelap Arief menyorot lurus. "Kalo gue ngaku, lo bakal ninggalin gue?"

Kenapa?

Kenapa bisa Arief mempertahankan hubungan mereka, hingga lelaki itu ketakutan bila Elfinata pergi? Mereka bahkan baru bertemu beberapa hari. Namun, seakan sudah mengenal cukup lama dengan Elfinata, Arief berbicara demikian. Seolah lelaki itu benar-benar jatuh pada cinta, yang Elfina akui, ia bahkan tidak tahu cinta apa yang biasa digembor-gemborkan banyak orang itu?

Elfina tidak memiliki sesuatu hal yang bisa ditonjolkan. Lantas, mengapa Arief tidak mau melepaskan?

Keheningan mereka terpecah, Elfina mengujarkan kalimat lainnya. "Jawab Rif." Dan menekan kata-kata yang dikeluarkan.

Arief menaruh telapak tangan Elfina ke pipi pemuda itu yang terasa dingin. Pandangan mereka bertemu begitu lama. Seperti hitamnya langit malam memantul kegelapan, Elfina bergeming, tak menjauhkan sama sekali tangannya dari genggaman paksa Arief ke wajah lelaki itu.

"Gue sayang lo." Sahutan yang tidak pernah diduga. Sadarkah Arief bahwa perbuatannya mampu membuat Elfina melupakan bagaimana caranya berpikir jernih? Arief adalah satu-satunya seseorang, yang mengungkapkan secara gamblang kata sayang pada Elfina yang asing pada kalimat itu. Bersama mamanya-Ratna dan Mutiara tidak mengungkapkan segalanya secara jelas.

Pelan-pelan, Elfina mengusap pipi kekasihnya yang masih dengan paksa menggenggam. Perempuan Cantika itu berucap menggunakan sedikit nada permohonan, "Jawab aja."

Arief memandang lurus, "Ya."

Elfina mencoba melepas paksa genggaman Arief padanya. Dengan begitu cepat Arief mengencangkan genggaman. Kala itu Elfina sadar Arief-orang asing yang baru ditemuinya-orang asing yang mendadak meminta hubungan sepasang kekasih dengannya, memiliki banyak hal rahasia yang pasti mampu membuat Elfina 'suatu saat nanti' memutuskan hubungan mereka.

Elfina terdiam. Tak mau mengeluarkan suara karena tahu Arief akan mengeluarkan kalimat lainnya.

Lelaki berkacamata bernetra hitam itu melanjutkan, "Gue cuma kepingin bales dia yang udah nyakitin lo."

Si gadis Cantika membalas. "Tapi untuk sampai menyakiti fisik dia, itu bukan perbuatan yang bisa gue anggap benar." Dia meralat sepontan. "Seenggaknya satu-dua pukulan aja, jangan sampai dia nggak masuk kelas karena pukulan lo." Pandangan Elfina menurun, tahu apa yang ia ucapkan menandakan bahwa dirinya telah memaafkan Arief. Dirinya yang memperbolehkan asal pukulan yang diterima Gibran tak terlalu parah, Arief boleh melakukan perkelahian. Bukankah sekarang dirinya terlihat memiliki hati berkabut hitam?

"Lain kali kalau lo mau balesin perbuatan orang-orang yang berhubungan sama gue. Bisa lo bilang dulu ke gue?"

MysteriousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang