1. Selepas Badai

154 17 4
                                    


Sudah satu minggu berlalu sejak sidang keputusan akhir Mama ditetapkan. Kini semuanya mulai kembali seperti sedia kala. Hal yang masih sama adalah aku yang masih rutin konsultasi dengan Kak Deon. Tidak ada penyakit mental yang bisa sembuh. Walau panic attck dan alterego-ku sudah tidak pernah kambuh, tapi terkadang aku masih bisa mendengar suara-suara aneh di kepalaku.

Contohnya sekarang. Aku terbangun dari tidurku saat mengalami mimpi buruk. Kejadian aku yang menjadi korban praktik ilegal Mama masih terus membuatku takut.

Kemari, Azka

Semuanya belum selesai.

Aku menutup telingaku dengan kencang. Aku berusaha mengatur napasku yang sudah mulai satu-satu. Tenang. Rileks, Azka. Rileks. Semuanya sudah selesai, enggak ada yang perlu ditakutin lagi. Aku mengambil obat yang biasa aku konsumsi saat sedang mengalami serangan. Kuambil satu butir obat dan menelannya tanpa bantuan air. Kalian bisa menebak seberapa seringnya aku melakukan ini dari aku yang bisa menelan obat keras tanpa bantuan air.

10 menit kemudian, aku sudah bisa mengambil alih tubuhku dengan sempurna. Aku mengelap keringat dingin di pelipis. Kalau sudah begini aku tidak bisa tidur lagi. Karena itu sekarang aku melangkahkan kakiku untuk ke kamar Bang Mahen.

Tok tok

Aku mengetuk pintu kamar Bang Mahen sepelan mungkin.

"Bang..." panggilku lirih.

Aku bisa mendengar langkah kaki dari dalam. Bang Mahen adalah tipe orang yang kalau tidur masih bisa mendengar suara-suara di sekitar. Jadi tidak susah membangunkannya dini hari begini.

Cklik

Kunci pintu kamar dibuka. Dari balik pintu kamar aku melihat Bang Mahen yang mengantuk.

"Dapet serangan lagi?" Bang Mahen sepertinya sudah hapal dengan kebiasaanku ketika membangunkkan jam-jam segini. Aku menganggukkan kepala sebagai jawaban.

"Sini masuk." Bang Mahen membuka pintu lebih lebar dan membiarkanku masuk dan berbaring di kasur ukuran double-nya. Papa bahkan sampai membelikan Bang Mahen kasur yang lebih besar karena tahu aku suka tidur dengan Bang Mahen. Papa tentu saja mendengarnya karena kamar Papa di sebelah Bang Mahen dan balkon kamar mereka saling berhubungan.

Bang Mahen berbaring di sebelahku dan menarik selimut untuk kami berdua.

"Kenapa tadi?" tanyanya.

"Ada suara lagi," jawabku lirih.

"Enggak ada, Azka. Semua itu cuman halusinasi kamu doang. Kenapa bisa kena serangan? Hari ini ngapain aja emang?" Serangan yang datang padaku memang dipengaruhi oleh aktifitas dan pikiran diriku sehari-harinya.

Aku mengingat-ingat hari ini aku ngapain aja selain sekolah. Aku tadi mengikuti semua pelajaran dengan aman-aman saja sepertinya. Ah, tadi siang aku mendengarkan Je yang curhat tentang masalahnya sekarang.

"Je curhat ke aku tentang Papanya."

Bang Mahen mengernyitkan dahi. "Papanya Je emang kenapa?"

"Suka mukulin Je," jawabku lirih. Sungguh aku sangat kasihan pada Je. Beban Je bahkan bertambah karena harus melindungi adiknya.

"Terus Mamanya diem aja?" tanya Bang Mahen.

"Mama Je udah lama meninggal. Kayaknya karena ngelahirin adiknya."

"Je punya adik?" tanya Bang Mahen lagi.

"Punya. Lucu. Masih kecil, kelas 7 SMP." Aku tersenyum tipis saat mengingat rupa menggemaskan adik Je.

"Kasihan. Kapan-kapan ajak mereka main ke sini, yah. Bilang ke Je kalau butuh apa-apa atau Papanya udah kelewatan, suruh hubungin Abang." Memang Bang Mahen paling juara. Itulah mengapa beberapa kali Je mengungkapkan kalau dia ingin menjadi adiknya Bang Mahen.

Aku mengangguk. Rasa kantuk mulai merayapiku. Perlahan-lahan aku mulai memasuki alam bawah sadar.

---

Hari ini hari minggu. Kemarin kami sekeluarga sudah berjanji akan mengunjungi makam Aksa. Ini pertama kalinya aku datang ke tempat peristirahatan terakhir selain hari dimana dia dimakamkan. Sebenarnya aku belum siap. Tapi kata Kak Dion obat yang paling ampuh untukku adalah mulai memaafkan masa lalu.

"Yuk, masuk ke mobil," ucap Papa. Aku dan Bang Mahen langsung masuk ke mobil. Bang Mahen yang menyetir karena katanya Papa lelah baru pulang dari dinas luar kota.

Selama perjalanan kami sempat mampir sebentar ke pasar untuk membeli bunga. Aku memilih bunga mawar, iya bunga yang tidak wajar dibawa untuk melayat. Tapi dulu seingatku Aksa suka banget sama bunga mawar. Jadilah selain membawa bunga untuk taburan di makam, aku membeli setangkai mawar.

Perjalanan terasa singkat. Saat melihat gapura yang tertulisa "Pemakaman Umum" aku mulai tidak tenang. Bang Mahen memarkirkan mobil.

"Kita semua turun kalo kamu udah siap, Ka," ucap Papa yang paham kalau aku sedang mengalami pergelutan batin.

Cukup lama Papa dan Bang Mahen menungguku siap untuk turun. Aku masih mempertimbangkan, apakah Aksa mau datang ke tempat peristirahatan terakhirnya? Apakah dia akan marah jika aku datang? Sepertinya Aksa akan marah, aku telah merenggut hidupnya. Aksa pergi penyebabnya adalah aku. Aku adalah biang masalah dari semua ini.

Aku merasakan bahuku diusap pelan. "Hei. Stop mikir yang aneh-aneh. Semuanya udah berlalu. Aksa udah bahagia di sana. Enggak ada yang perlu ditakutin," Papa berusaha meyakinkanku.

Aku mengambil napas panjang dan menghembuskannya. Berusaha menormalkan ritme jantungku. "Oke, ayo kita turun," ucapku mantap pada akhirnya.

Kami bertiga langsung turun dari mobil. Jalan dipimpin oleh Papa. Aku Bang Mahen mengikuti dari belakang. Bang Mahen bahkan menggenggam tangan kananku dengan erat. Aku bisa merasakan remasannya yang seolah-olah menguatkanku. Dan sepertinya berhasil, aku jauh lebih rileks daripada di dalam mobil tadi.

Akhirnya kami sampai di tempat peristirahatan kembaranku, Aksa. Namanya tertulis jelas di nisan yang menancap di tanah. Papa dan Bang Mahen berjongkok di sekelilingnya, aku ikut juga di sebelah Bang Mahen. Papa dan Bang Mahen mulai menaburkan bungan di atas pusara. Setelahnya aku meletakkan bunga mawar di depan persis nisannya.

"Kita kirim doa buat Aksa." Papa memimpin doa. Setelah mengaminkan, kami semua terdiam sambil mengamati rumah terakhir Azka.

"Aksa, kamu di sana beneran udah bahagia, kan? Enggak ngerasain sakit lagi? Minggu lalu sidang akhir keputusan Mama udah diputuskan. Mama dijatuhi hukuman 12 tahun penjara. Aku harap ini setimpal sama apa yang udah Mama lakuin. Aksa, aku mau tanya sama kamu, kamu beneran enggak nyesel ngorbanin semuanya buat aku?" Tentu saja aku hanya berani mengucapkannya di dalam hati.

"Pulang, yuk," ajakku. Aku merasa tidak bisa lebih lama lagi di sini. Tenagaku seperti dikuras rasanya. Bahkan Bang Mahen menuntunku sampai ke dalam mobil saat aku yang hampir oleng saat berjalan.

---

Setelah pulang dari makam Aksa, aku tertidur selama perjalanan. Tahu-tahu saja kau sudah ada di kamarku. Berapa lama aku tertidur? Aku melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 12 siang. Sekitar 2 jam aku tertidur ternyata. Selalu begitu, saat aku mendapat serangan panik atau berusaha berdamai dengan masa lalu seperti tadi, aku pasti merasa tenagaku terbuang dengan cepat.

Aku bangkit dari tidur. Berjalanan menuju cermin yang seukuran badan penuh. Memerhatikan dengan lekat sosokku yang ada di cermin. Membayangkan kalau sosok di dalam cermin itu adalah Aksa. Aku dan Aksa adalah kembar identik, kami sulit untuk dibedakan. Aku mengusap pantulan diriku yang ada di cermin.

"Aksa, apa aku boleh bahagia di sini?"

Kepada bumantara, tolong jawab apakah aku berhak bahagia?

---


Hai, ekstra bab 'Aksara Azkara' yang aku kasih judul 'Aksara yang (TAK) Sempat Terucap' ini akan aku update setiap hari minggu. Ini enggak panjang, mungkin sekitar 10 bab aja. Walau begitu, tolong temani Azka hingga bahagia, yah? ^^


Jakarta, 11 September 2022

Aksara yang (TAK) TerucapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang