4. Berubah

48 11 0
                                    


Saat sampai rumah rasanya tubuhku sudah tidak bertulang. Lelah fisik dan juga psikis. Hari ini bener-bener bad day. Bahkan Archie yang menyambutku sambil membawa bola kesayangannya tidak aku gubris sama sekali. Maaf, Archie, tuanmu ini sedang lelah hari ini.

Di rumah masih sepi, tadi saat aku menelepon Bang Mahen untuk menjemput sama sekali tidak ada jawaban. Untungnya Je tadi mau mengantarkanku. Sampai rumah juga sepi sekali. Sepertinya memang Bang Mahens sedang sibuk kuliah, tidak apa-apa, aku sudah besar, tidak perlu lagi diperlakukan seperti anak kecil. Aku bisa, kok, di rumah sendirian.

Aku masuk ke kamar masih dengan diikuti Archie. Aku duduk di kasur dan Archie memandangku dengan puppy eyes-nya untuk mengajakku bermain. Karena tidak tega aku bermain dengannya sebentar. Beberapa kali aku melempar bola kesayangan Archie dan Archie mengambilnya dengan cepat. Lihat dia sekarang sudah bertumbuh besar dengan cepat, dulu bola itu bahkan sebesar dirinya.

"Udah, yah, Archie aku ngantuk." Archie menatapku sedih.

Aku merebahkan diri di kasur dan bersiap ke alam mimpi. Masa bodoh dengan aku yang belum mengganti pakain dan juga mandi. Aku butuh istirahat hari ini.

---

Saat bangun, langit di luar sudah gelap. Aku bisa langsung tahu karena belum menutup gorden. Saat melirik jam di nakas ternyata sudah pukul 7 malam. Sepertinya aku tertidur sekitar 2 jam. Aku terduduk dan menguap lebar sambil melakukan peregangan pada badanku yang pegal semua. Setelahnya aku beranjak untuk mandi.

Setelah selesai mandi dan mengenakan salah satu koleksi piyamaku, aku keluar kamar. Di luar kamar masih gelap sekali, lampu sama sekali tidak ada yang menyala. Dalam hati aku menggerutu kemana perginya semua makhluk di rumah ini. Aku menyalakan lampu satu persatu.

Saat sampai dapur aku baru sadar kalau perutku sudah keroncongan. Di meja makan tidak ada apapun yang bisa dimakan selain buah. Di kulkas hanya ada oat tapi tidak ada susunya. Sebenarnya bisa dimakan dengan air panas tapi aku tidak mau. Saat sedang melihat-lihat kulkas untuk mencari apa yang bisa aku makan, pintu gerbang di luar berbunyi dan aku bisa mendengar suara motor Bang Mahen. Aku ke arah pintu utama untuk menunggunya masuk.

"Bang ak--"

"Abang capek banget hari ini. Jangan ganggu Abang dulu, yah." Ucapanku langsung disela oleh Bang Mahen.

Memang, sih, kalau dilihat dari tampilannya, Bang Mahen terlihat baru saja menjalani hari yang sangat melelahkan. Matanya kuyu, rambutnya acak-acakan, bajunya yang selalu terlihat rapi kini sudah mencuat kemana-mana. Jadilah aku membiarkan Bang Mahen melewatiku untuk istirahat. Oke, aku tidak akan menganggunya.

Baru aku mau kembali ke dapur lagi, kini aku mendengar suara mobil Papa yang masuk ke garasi. Aku menunggu lagi di depan pintu utama.

"Pa, aku la---"

"Papa masih ada yang harus dikerjain. Kalau butuh sesuatu bilang Abangmu aja, dia udah pulang, kan?" Tanpa menunggu jawabanku Papa berjalan dengan terburu-buru ke kamar kerjanya.

Aku mendengus kesal diabaikan begini. Bagaimana aku bisa minta tolong Bang Mahen kalau Bang Mahennya saja barusan bilang tidak mau diganggu. Jadilah aku mengambil sebuah apel di dapur dan menggigitnya dengan kesal tanpa memotongnya. Biarlah aku makan malam dengan sebuah apel saja.

Pukul 10 malam aku baru selesai mengerjakan tugas. Aku bisa mendengar alunan musik samar yang terdengar dari kamar Bang Mahen. Bang Mahen jarang tidur di bawah jam 12 malam, biasanya aku suka datang ke kamarnya dan bercerita satu dua hal sambil menemani Bang Mahen membuat musik. Malam ini aku juga mau mendatangi kamar Bang Mahen.

Tok tok tok

"Abang.." panggilku dari luar.

Seperti biasa tak butuh waktu lama Bang Mahen langsung membuka pintu. Baru saja aku mau langsung masuk tapi terhenti karena melihat tampilan Bang Mahen yang sangat loyo.

"Abang sakit?" tanyaku sambil menyentuh keningnya untuk memeriksa suhu, seperti apa yang biasa Bang Mahen lakukan padaku.

Bang Mahen menepis tanganku. "Enggak. Abang lagi banyak tugas, kamu tidur aja sana."

Tidak seperti Bang Mahen yang biasanya selalu ramah dan hangat. Kini aku hanya bisa merasakan dingin dan kaku dari ucapannya. Mungkin Bang Mahen memang sedang kesulitan dalam mengerjakan tugas.

"Oke, Abang jangan tidur mal--"

Belum selesai aku berbicara, Bang Mahen sudah menutup pintu kamar. Aku mengangkat kedua bahuku dan berjalan kembali ke kamar.

---

Besok paginya saat aku turun ke ruang makan untuk sarapan, aku hanya bisa melihat Papa di meja makan.

"Abang kuliah siang?"

Papa menaruh sepotong roti bakar di hadapanku. "Enggak tahu. Tadi subuh Papa ketemu tapi Abangmu kelihatan capek banget, katanya belum sempet tidur."

"Kuliah sibuk, yah, Pa?" tanyaku sambil melahap roti bakar yang sudah kuolesi selai cokelat.

"Iya, apalagi sekarang udah deket ujian akhir, abangmu mungkin lagi bikin project, jadi jangan digangguin dulu, yah."

"Oke. Papa juga sibuk?" tanyaku saat melihat Papa yang sedaritadi fokus ke tabletnya.

"Iya, proyek Papa lagi ada kendala jadi ribet banget benerinnya. Papa bisa anter kamu berangkat sekolah, tapi pulangnya kamu sama Je aja, yah. Supir yang kemarin udah enggak bisa kerja sama kita lagi katanya istri di kampung baru lahiran."

"Enggak apa-apa, kok. Aku juga bisa naik bus." Aku juga tidak enak jika harus merepotkan Je setiap harinya.

"Oke. Asal hati-hati. Ayo, cepet sarapannya kita berangkat sekarang."

"Baru jam 6, Pa," eluhku saat melihat jam.

"Papa mau ketemu sama orang proyek. Enggak apa-apa, yah? Tolong ngertiin Papa." Aku hanya mengangguk sebagai jawaban.

Betul, aku tidak bisa terus-terusan bergantung pada Papa dan Bang Mahen. Mereka punya kesibukannya masing-masing. Aku harus bisa melakukannya sendiri. Semenjak kedatanganku sepertinya Papa dan Bang Mahen malah mendapatkan banyak masalah? Apa memang seharusnya aku ini tidak ada saja?

Kepada baskara, aku ini hidup untuk apa?

---


Jakarta, 9 Oktober 2022 

Aksara yang (TAK) TerucapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang