Sampai sekolah ternyata Kevin masih marah sama aku. Mau sampai kapan, sih, dia marah sama aku? Apa aku harus sujud di depan kakinya, baru dia mau maafin aku? Je akhir-akhir ini sibuk sama adiknya maka dari itu dia jarang main sama aku.
Liat aja tadi waktu istirahat, di saat aku sama Kevin lagi bertengkar perihal siapa yang mau istirahat sama Je, Je-nya malah dipanggil Aci, adiknya masuk UKS katanya. Setelah kepergian Je, aku menatap Aci dan Kevin dengan canggung. Untungnya saja setelah itu Aci langsung pergi.
"Udahlah, gua mau ke kantin sendirian aja." Kevin berlalu dari hadapanku.
"Aku juga mau ke kantin." Karena berdebat dengan Kevin, aku malah jadi lapar. Kebetulan tadi pagi aku hanya sarapan sedikit.
"Kok, ikut-ikutan, sih?"
"Aku bukannya ikut-ikutan. Tapi aku emang laper. Kamu mau aku pingsan pas pelajarannya Bu Supri."
Abis istirahat ada mata pelajaran Kimia tiga jam pelajaran langsung. Aku butuh banyak tenaga untuk melewati itu.
"Terserah."
Aku dan Kevin berjalan menuju kantin. Tentu saja tidak saling berdampingan, Kevin di depan dan aku di belakang. Sialnya lagi saat aku dan Kevin selesai mengambil jatah makan, meja yang tersisa hanya satu dengan kursi yang saling berhadapan. Kami sudah terlalu lama makanya hanya meja itu saja yang tersisa. Kevin memutar matanya malas saat aku duduk di hadapannya.
Kami makan dengan diam. Tidak ada yang mau memulai pembicaraan. Karena aku sudah sangat jengah dengan perang dingin ini, jadilah aku menurunkan egoku untuk mengajaknya bicara duluan.
"Kita enggak mau baikan aja gitu?" Pertanyaanku membuat Kevin mengurungkan suapannya.
"Terserah."
Daritadi terserah-terserah mulu, lama-lama Kevin jadi kayak cewek kalau ditanya mau makan dimana.
"Ayo baikan. Aku, kan, udah bilang ke kamu, udah aku jelasin juga semuanya ke kamu kalau aku enggak ada rasa apa-apa ke Aci." Aku menyuapkan satu sendok nasi dan juga lauk ke mulut dengan emosi. Mau sampai kapan Kevin tidak memahami posisiku.
"Justru itu yang makin bikin gua sebel sama lu. Kenapa Aci malah suka sama orang yang enggak suka sama dia. Itu yang bikin gua jadi sebel sama lu, paham?" Kevin menunjuk-nunjukku dengan sendoknya dengan alis yang serius.
"Enggak, enggak paham. Apa salahnya aku di sini? Aku di sini sebagai pihak yang dirugikan kalian berdua, yah. Kamu yang enggak mau temenan lagi sama aku dan aku yang jadi canggung setiap ketemu Aci, aku jadi merasa bersalah sama Aci tahu. Kamu pikir aku seenggak berperasaan itu apa?" Aku mengeluarkan semua perasaan yang selama ini aku pendam.
Kevin tampak diam saja. Sepertinya dia diam-diam mengiyakan perkataanku barusan. Pokoknya hari ini juga aku harus baikan sama Kevin. Kevin dan Je adalah teman pertamaku selama sekolah dan aku enggak mau kehilangan mereka berdua.
"Jadi, maafin aku, yah, Vin?"
"Oke." Tanpa aku duga Kevin menjawab dengan cepat.
"Hah? Apa?"
"Enggak nerima pengulangan." Kevin mengangkat piring bekas makannya dan meninggalkanku.
Aku buru-buru menghabiskan makananku yang memang hanya tersisa sedikit lagi lalu berlari menghampirinya sambil tersenyum.
"Kita baikan, nih?" Aku menyenggol lengannya.
"Gua bilang gua enggak nerima pengulangan. Kalau diulang jawaban gua bisa berubah."
Aku menaruh piring kotor di tempatnya. "Oke, oke. Aku seneng. Makasih, yah, Vin."
Kevin tidak menjawab dan memilih berjalan mendahuluiku. Aku heran kenapa Kevin dan Je selalu berjalan dengan terburu-buru, aku selalu ketinggalan setiap jalan berdampingan dengan mereka.
Sampai kelas aku semakin senang saat Kevin memindahkan tasnya lagi jadi di sebelah mejaku. Kami sudah benar-benar damai. Je harus tahu ini. Aku mengeluarkan buku tugas Bahasa Indonesiaku untuk menanyakan tugas yang tadinya mau aku tanyakan ke Je. Tapi karena Kevin sudah tidak marah padaku maka aku berniat bertanya padanya. Kevin juga lebih pintar dari Je, sudah pasti saran darinya lebih bermutu. Maafkan aku Je, kamu pintar juga, kok.
"Kevin, aku mau tanya...."
"Azka, ini nitip surat buat Je, yah."
Omonganku terpotong oleh kedatangan Aci yang menyodorkan sebuah surat. Duh, kenapa timing-nya tidak pas banget, sih. Kamu tidak tahu apa kalau aku baru berbaikan dengan Kevin.
Aku menerima surat dari Aci dengan ragu sambil melirik-lirik Kevin yang terlihat melihatku dengan penuh api cemburu. Habislah aku.
"Je harus nemenin adiknya yang luka ke rumah sakit. Ini surat ijin buat Je," jelas Aci.
"Oke, makasih, Ci."
Aci langsung pergi tanpa menatap sekilas pun ke arah Kevin. Aku yang panik langsung memposisikan kursi ke arahnya.
"Vin, masih maafin aku, kan?" tanyaku takut-takut.
"Gua enggak nerima pengulangan. Berapa kali harus gua bilang."
"Tapi muka kamu serem waktu Aci nyamperin tadi."
"Lupain aja."
Oke. Untung aja Kevin masih maafin aku. Enggak lucu kalau dia malah musuhin aku lagi. Padahal belum ada lima menit kami berdamai. Setelahnya ponselku bergetar tanda ada chat dari Je. Je bilang dia ijin, lalu aku jawab kalau Aci sudah mengirimkan surat. Aku hampir tertawa saat Je yang malah mengkhawatirkan bagaimana sikap Kevin saat Aci menghampiriku, Je tidak tahu kalau aku sudah berdamai dengan Kevin. Maka aku sekalian saja mengerjainya. Hehe.
---
Hari ini aku benar-benar pulang naik bus karena Papa tidak bisa menjemputku. Bang Mahen bahkan tidak menjawab chat atau mengangkat teleponku. Aku merasa akhir-akhir ini Bang Mahen bersikap aneh padaku. Apakah aku berbuat salah? Apa hanya karena dia sedang sibuk dengan kuliahnya? Aku tidak tahu, deh, pusing. Otak mungilku tidak bisa menampung ini semua.
Saat membuka pintu rumah aku melihat kalau Bang Mahen sedang duduk di ruang tamu sambil menonton TV. Aku cemberut melihatnya, Bang Mahen ada di rumah dan bersantai lalu kenapa dia tidak merespon teleponku?
"Bang Mahen tadi, kok, di-chat sama ditelepon enggak diangkat, sih?" tanyaku sambil duduk di sebelahnya.
Archie yang sedang duduk di bantal sofanya langsung menghampiriku minta dipangku. Aku mengangkatnya dan menaruh di atas kedua kakiku.
"Gua enggak pegang hape."
"Kenapa begitu? Aku jadi naik bus, kan," eluhku.
Bang Mahen menoleh padaku dan menatapku dengan tatapan yang tidak pernah aku lihat. Matanya dingin dan penuh emosi.
"Enggak usah manja, deh. Lagian kamu juga udah gede. Sekali-kali belajar mandiri. Abang capek harus ngurusin kamu terus," suara Bang Mahen meninggi saat berkata begitu padaku.
Aku terkejut mendengarnya. Bahkan aku sampai bingung harus menjawab apa.
"Tapi Bang Mahen yang dulu bilang ke aku untuk selalu hubungin Abang kalau butuh sesuatu," cicitku sambil menunduk. Aku tidak berani melihat Bang Mahen.
"Itu dulu. Sekarang kamu harus mulai belajar mandiri. Abang sibuk, Papa juga sibuk. Kamu harus tahu diri dan bisa ngurus diri sendiri."
Setelahnya Bang Mahen bangkit dan pergi ke kamarnya. Aku hanya diam terpaku. Sungguh yang barusan bukan seperti Bang Mahen. Aku sama sekali tidak kenal.
Aku berjalan dengan lemas ke kamarku. Masuk ke kamar mandi dan hendak mandi. Saat aku melirik sepintas ke cermin, aku terkejut saat melihat bayangan di cermin adalah sosok Aska yang sedang tersenyum miring padaku.
Kamu, emang harusnya mati dari dulu
Itu yang bisa aku dengar dari telingaku.
Wahai batara, apakah nasibku yang tertulis di sana hanyalah perihal pilu?
---
Jakarta, 16 Oktober 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara yang (TAK) Terucap
Teen FictionEKSTRA BAB AKSARA AZKARA --- "Kalau Aksa masih hidup, apa benar dia mau aku buat bahagia? Apa Aksa enggak nyesel ngorbanin semuanya buat aku?" "Walaupun lu bukan adik kandung gua, sampai kapanpun enggak akan ada yang misahin kita." "Azka, aku suka s...