Awalnya niat Kaluna mengajak ibu serta adik perempuannya untuk melakukan pijat refleksi dan spa adalah agar tubuh dan pikirannya bisa sedikit segar dan tenang. Namun yang terjadi malah sebaliknya, kedua wanita itu terus mengoceh tentang rencana menjodohkan Kaluna entah dengan pria mana.
Keduanya terdengar sangat bersemangat, sementara Kaluna hanya bisa berulang kali menghela nafas panjang dan lelah. Kepalanya malah semakin sakit mendengar ocehan ibu dan adiknya.
"Kamu pokoknya harus kenalan sama anak teman bunda itu. Dia baik, sopan, bertanggung jawab. Pokoknya kriteria idaman dan cocok sama kamu, Kal."
"Iya mbak, nggak usah nolak deh. Kenalan aja dulu, mana tau cocok kan." Sambung sang adik dengan bersemangat.
Kaluna hanya menanggapi dengan menggumam kecil, sementara ia coba menikmati pijatan dari terapis spa.
"Jangan ham-hem ham-hem saja kamu Kal! Pokoknya kamu harus datang kalah bunda aja ketemu sama dia! Jangan kabur-kaburan atau banyak alasan lagi!" Tegas sang ibunda pada Kaluna.
"Apa kamu nggak capek melajang? Sudah berumur lho kamu itu, nduk! Ndak malu sama dua adikmu yang sudah menikah?!"
"Kenapa mesti malu si Bun? Wong aku nggak kenapa-kenapa. Umurku juga baru tiga puluh dua tahun, belum setengah abad!" Kaluna kali ini menjawab.
"Kamu ini kebiasaan kalau diomongin orang tua menjawab terus! Bunda waktu seumur kamu anak bunda udah mau tiga! Lah kamu boro-boro anak, calon suami aja nggak punya!" Sindiran telak itu membuat Kaluna berdecak kesal.
Dia tau bahwa dirinya tidak akan pernah memenangkan perdebatan dengan sang ibu, terlebih jika berdebat mengenai masalah yang satu ini. Sudah bisa dipastikan Kaluna akan kalah, telak.
"Yaudah sih mbak, ikutin saja maunya bunda. Lagian kan ini demi kebaikan mbak Kal. Kalau mbak Kal menikah kan bunda sama ayah bisa tenang, nggak malu lagi diomongin sama bude-bude."
"Jangan terlalu sombong Kal, jangan terlalu pemilih juga kamu itu. Nanti malah nggak ada yang mau sama kamu!" Kembali sang ibu bicara.
"Lah siapa yang sombong sih Bun?! Lagian kan aku memang harus milih-milih, ya masa sih aku asal comot. Beli sayur di pasar aja mesti dipilih yang bagus, ya masa aku nggak milih-milih buat nyari calon suami!"
"Tapi mbak itu kebanyakan milihnya. Semua calon yang kemarin-kemarin dikenalin sama bunda, ayah, sama bude-bude semuanya ditolak. Mbak itu banyak alasan." Sang adik seperti tidak mau kalah untuk menyudutkan Kaluna.
"Calon yang disodorin ke mbak kemarin itu kebanyakan anak mami, pengangguran, mesum dan laki-laki yang nggak punya pendirian alias menye-menye." Kaluna tidak tinggal diam.
"Ya namanya juga laki-laki mbak, selagi ada yang mau sama mbak ya diterima saja toh."
Jika saja tidak ada sang ibu disini, mungkin Kaluna sudah memukul kepala adiknya itu. Tapi ia mengurungkan niatnya karena mendapat tatapan tajam dari sang bunda.
Alih-alih melayangkan telapak tangannya ke kepala sang adik, Kaluna memilih untuk meminta sang terapis menguatkan pijitan di tubuhnya. Setelahnya Kaluna sibuk meringis dan berteriak kecil saat merasakan pijitan kuat dari sang terapis. Untungnya hal tersebut membuat pembicaraan antara dia serta ibu dan adiknya terhenti.
Namun Kaluna yakin jika ada kesempatan sedikit saja, ibunya pasti akan melanjutkan pembicaraan mengenai hal-hal berbau perkenalan dan perjodohan dengan putra dari salah satu temannya itu.
Dia jengah, namun tidak mungkin bisa terus menghindari topik yang selalu membuat telinganya panas dan perutnya mulas itu.
Kenapa semua orang seperti menyerangnya ketika membahas masalah pernikahan. Dan menganggap umurnya sudah terlalu tua untuk menyandang status single. Padahal ia baru tiga puluh dua tahun, tiga puluh dua! Kaluna merasa ia belum cukup tua, dia menikmati usia matangnya dalam kesendirian. Dia tidak merasa kesepian, juga tidak merasa nelangsa dengan statusnya diumur yang sekarang, tapi kenapa malah orang-orang disekitarnya yang terlihat repot dengan semua hal tersebut.
Mungkin tujuan mereka baik, mereka takut Kaluna kesepian dan mati dalam kesendirian. Tapi tidak bisakah mereka memberikan ruang untuknya menikmati hari-hari dan hidupnya yang masih terasa menyenangkan dengan semua kesibukan yang tengah dijalaninya? Statusnya bukan aib, umurnya juga bukan sesuatu yang memalukan untuk dibicarakan. Kaluna masih merasa nyaman dalam kesendiriannya. Apakah itu salah?
****

KAMU SEDANG MEMBACA
Kaluna dan Harsa
RomanceSeharusnya setelah menikah Kaluna bahagia, bukannya terkejut setengah mati saat ada serombongan orang yang menggeruduk kediamannya dan salah satu diantara orang-orang itu mengaku sebagai istri siri Harsa, sang suami baru.