Prologue

140 25 0
                                    

.
.
.

~ R U N T U H ~

...


"Mama, Papa, kalian mau kemana?"

Seorang bocah berumur tujuh tahun menarik baju papa dan mamanya yang hendak meninggalkan rumah. Ia mendongak, melihat kedua orang itu dengan tatapan polos.

Fahmi, dan Iren-sepasang suami istri yang merupakan orang tua Darel-itu berjongkok menjajarkan tinggi mereka.

"El sayang, mama dan papa mau pergi sebentar. Cari uang yang banyak buat beliin El mainan," kata Iren seraya mengusap lembut puncak kepala Darel.

"Kita pasti balik lagi kesini, nanti papa ajak Darel mancing setelah papa pulang," hibur Fahmi dengan senyum manis terukir.

Darel menggeleng kuat, mencengkeram baju kedua orang tuanya lebih erat dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Dia tidak ingin ditinggal. Darel takut papa dan mamanya berbohong, takut kalau mereka tidak akan bertemu lagi.

"Sebentaaar aja, nggak akan lama kok, ya?"

"Nggak mau!" Setetes liquid bening mulai jatuh dari kedua sudut mata Alvin. "Kalau kalian pergi, Avin ikut."

Iren dan Fahmi saling melempar pandang, mereka menghela nafas hampir bersamaan.

"El di rumah aja ya? Sama Bi Ima," bujuk Fahmi seraya menunjuk seorang yang berdiri tak jauh dari sana dengan pandangannya.

Hal itu membuat Darel menoleh, Bi Ima mengulas senyum simpul pada anak majikannya itu.

"Setelah mama sama papa pulang, kita rayain ulang tahun El sama-sama dengan pergi memancing."

Meskipun diliputi oleh perasaan sedih, tapi tak bisa dipungkiri bahwa ia sangat ingin pergi memancing. Darel pun mengangguk pelan. Rematan tangan di kedua ujung baju orang tuanya perlahan mengurai.

Fahmi dan Iren tersenyum manis, mereka mengecup pundak kepala putranya bergantian.

"Tunggu kami pulang, ya?"

Darel mengangguk. Dengan berat hati melepas kepergian mereka. Berharap semoga mama dan papanya akan menepati janji mereka yang akan pulang ketika ulang tahunnya tiba.

Dia akan menunggu, sampai pertemuan itu tiba.

...

1 tahun kemudian.

"Den, lilinnya kenapa nggak ditiup?"

Darel yang tengah diam menatap nyala lilin di depannya itu menoleh. "El mau nungguin mama sama papa pulang," ucapnya dengan penuh harap.

Hari ini adalah hari ulang tahunnya yang ke delapan, hari dimana mama dan papanya berjanji untuk pulang. Darel ingin meniup lilin bersama mereka, itulah kenapa ia harus menunggu.

Detikpun berlalu, dan menit berganti. Jam dinding telah menunjukkan pukul 11:55, yang berarti sebentar lagi hari ulang tahunnya akan usai. Namun sosok yang Darel tunggu tak kunjung tiba.

"Bi!" panggilnya setelah sekian lama terhenyak.

"Ya, kenapa Den?"

"Peluk."

Sontak, Ima segera merangkul tubuh kecil itu erat-erat. Membiarkan anak majikannya itu terisak di ceruk lehernya.

"Aku kangen mereka."

Saat itu juga, genangan air yang sedari tadi Ima tahan akhirnya mengalir bebas. Tak tega melihat anak yang selama ini diurusnya hancur sedemikian rupa.

...

4 tahun kemudian.

"Bi ... mama sama papa bohongin El," adunya pada wanita yang selama ini menemaninya.

Sudah lima tahun berlalu semenjak kedua orang tuanya pergi. Selama itu juga Darel selalu mengharap tentang kata 'sebentar' yang mama dan papanya janjikan kala itu. Kata yang membuatnya harus menunggu sampai sekarang.

Pada akhirnya ...
Semua hanya omong kosong.

Penantian yang Darel jalani selama ini hanya sia-sia saja. Rasa rindu yang tertanam dalam hatinya tak kunjung mendapat obatnya. Dia dihancurkan oleh harapannya sendiri.

"Bibi nggak boleh pergi kaya mereka," ujar Darel yang dianggukan oleh Ima.

...

7 tahun kemudian ...

Happy birth day to me ...
Happy birth day to ... me

Happy birth day ... happy birth day ... happy birth day ...

To ... me ...

Darel menenggelamkan kepalanya di antara kedua lutut setelah menyanyikan lagu itu untuk dirinya sendiri. Di temani dengan sepi dan sunyi, anak lelaki itu terduduk di pojok kamar dengan batin terluka.

Delapan tahun berlalu dalam sekejap. Darel tak tahu harus melakukan apa selain menangis. Semua orang yang ia percaya telah mengingkari janjinya.

Bi Ima yang dulu selalu memberinya pelukan, kini telah pulang ke kampung halaman. Dan Darel? Terjebak dalam keheningan. Tanpa siapapun dan apapun.

Tidak Iren, tidak Fahmi, bahkan bi Ima. Ketiga orang yang selalu ia beri kepercayaan besar, kini tak lagi ada di sisinya.

Darel benar-benar ditinggal sendirian.

...

~ R U N T U H ~

RUNTUH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang