Hari minggu pukul delapan pagi. Dehan dan Dewi sudah siap untuk pergi mengunjungi kedua orangtuanya. Setiap dua minggu atau sebulan sekali, mereka rutin untuk kesana.
-MAKAM UMUM CENDANA- Tertulis besar tepat di pintu gerbang tempat ini.
Singkat cerita mereka sudah sampai disini. Dua bersaudara ini kompak memakai pakaian serba hitam. Selama ini hitam identik dengan berkabung ataupun kematian. Namun bukan itu tujuan mereka. Hitam adalah warna favorit mama papanya.
Langkah kaki mereka sekarang sudah berada tepat di depan nisan yang tertulis nama Anita dan Heri Fadliansyah. Makam orangtua mereka bersampingan. Keluarga mereka sudah menyiapkan tanah kuburan untuk anggota keluarganya, termaksud untuk Dewi dan Dehan. Maka dari itu kuburan kedua orangtuanya bisa bersebelahan.
Di jalan sebelum ke tempat ini, Dewi dan Dehan membeli bunga mawar beberapa tangkai dengan berbagai macam warna. Mawar adalah bunga kesukaan Anita. Bisa dibuktikan di halaman rumah mereka hampir semua jenis mawar ada. Sekarang, Dewi yang lanjut mengurus dan merawat bunga-bunga mawar mamanya.
Dewi menaruh bunga mawar di atas kuburan Anita dan Heri. Setelah itu mereka berdoa bersama. Tidak ada tangisan. Semua sudah seperti biasa saja. Air mata mereka sudah habis sejak tujuh tahun lalu. Yang tersisa sekarang hanyalah doa yang begitu panjang.
"Mah pah kita datang nih. Baik-baik ya disana." Ujar Dewi sambil mengelus gundukan tanah yang ada di depannya.
"Mama sama papa tenang aja, Dewi aman kok. Dehan selalu pantauin dia. Dia lagi nyelesain skripsinya, dikit lagi jadi sarjana." Ujar Dehan.
"Bang Dehan nyebelin mah. Pengen aku jitak."
"Enak aja. Nggak ya!" Jawab Dehan.
"Hehehe nggak kok canda brother." Dewi melirik Dehan dengan senyum ketakutan.
"Pulang yuk. Abang masih mau ngurus kerjaan lagi." Ajak Dehan.
"Pah, Bang Dehan biar hari minggu tetap kerja. Marahin pah." Dewi yang terus saja mengadu di depan gundukan tanah.
"Ini juga kan buat kamu deek." Dehan menghela napas.
"Emang best banget abang gue." Sambil menepuk-nepuk bahu kakaknya.
"Mah pah kita pamit pulang ya. Nanti kita kesini lagi." Ujar Dewi.
"Kita pamit ya mom dad." Sambung Dehan.
Keduanya berjalan menuju tempat parkir mobil dan perlahan menjauh dari tempat tidur abadi orangtuanya. Setelah melewati banyaknya nisan yang bertuliskan nama orang, sampailah mereka di mobil. Tidak menunggu lama, keduanya pergi meninggalkan tempat ini.
"Bang boleh singgah di supermarket nggak? belanja buat isi dapur, soalnya udah pada habis." Tanya Dewi.
"Oke boleh. Abang tunggu di mobil, soalnya mau balesin email klien." Jawab Dehan.
" Yaudah oke. Kartu mana?"
"Kartu apaan?
"ATM lah, nanti gimana bayarnya kalau nggak ada itu."
"Owhh ngomong dong. Kartukan banyak macam, kirain minta kartu BPJS."
"Ngapain belanja pake kartu BPJS."
"Kalau belanja obat di apotek rumah sakit pake kartu BPJS dek."
"Bang, jangan sampe saya loncat dari jendela mobil ya."
Dehan mendengar adiknya sudah mulai emosi merasa sangat puas. Ketawanya sangat mewakili perasaan puasnya. Salah satu tujuan hidupnya yang terpenting adalah melihat adiknya bahagia. Dia akan berusaha semaksimal mungkin agar supaya tidak ada yang bisa menyakiti adiknya. Cukup dia saja yang boleh membuat Dewi emosi dan marah. Sepertinya itu prinsip kakak di seluruh dunia.
Sampailah di depan supermarket yang dituju.
"Nih kartunya. Jangan boros beli cemilan." Dehan memberikan kartu ATM ke Dewi.
"Makasih bang. Tenang aja, serahkan sama yang ahlinya."
"Ahli makan ya?"
"Jangan mancing-mancing, tempat umum nih." Setelah mengatakan itu, Dewi turun dari mobil dan masuk ke supermarket.
Bersambung.....
VOTE & KOMEN forgot don't!!!
Terima kasih satu juta miliar dolar untuk kalian🤍Kind Regards 🍁
KAMU SEDANG MEMBACA
My Husband is My Neighbor
Romance"Suami idaman lo kayak apa sih?" "Kayak tetangga gue." Singkatnya begitu. Nyatanya tak segampang yang gue pikir. Pria dewasa dengan karisma yang tampan. Perempuan satu ini memang menyukai lelaki matang. "Tapi gue yakin, dia yang jadi cinta pertama...