18. Hello, Muffin

1.3K 404 37
                                    

Sekalian minta tolong kasih tahu kalau ada typo yaa. Thank you ♡

*

18. Hello, Muffin

"Mbak Bitaa, omaygat!"

Aku sedang di kamar saat Delisa masuk dan langsung duduk di ranjang. Dia memandangiku yang tengah mengeringkan rambut dengan hair dryer.

"Mbak, kok nggak cerita ke aku, sih?!"

"Cerita apa?" jawabku sambil menatapnya dari cermin.

"Soal Mbak Bita sama Mas Bian." Delisa cemberut. "Kok aku nggak tahu? Udah dari kapan kalian jadian?"

"Baru sebulan."

Lancar sekali bukan, aku menjawab? Sebenarnya aku hanya mengikuti apa yang Bian katakan saja. Semalam saat Ayah dan Ibu bertanya tentang hubungan kami, Bian mengaku jika kami menjalin hubungan sejak sebulan lalu. Karena Tante Tiara memberitahu orang tuaku, terpaksa aku harus membohongi mereka juga. Meski sejujurnya aku merasa sangat berdosa.

"Kok bisa sih, Mbak? Jangan-jangan CLBK, ya?"

Aku yang sudah selesai menyisir rambut, mengubah posisi duduk jadi berhadapan dengannya. "CLBK apa?"

"Cerita lama belum kelar." Delisa terkikik. "Pantes pas di playground itu, Mas Bian merhatiin Mbak Bita terus. Ingat nggak pas di kedai es krim? Kan mas-mas yang anterin tuh liatin Mbak Bita sambil senyum, terus Mas Bian ngeliat tajem banget. Mbak Bita nggak nyadar, kan? Cemburu tuh."

Aku terdiam sejenak saat Delisa tertawa. Benarkah Bian seperti itu? Ah, mungkin dia khawatir saja. Bukan cemburu atau semacamnya.

"Mbak Bita nggak ngeh, kan? Udah aku duga." Delisa menjentikkan jari sambil terkikik. "Aku yang sekali liat aja bisa tahu kalau Mas Bian natap Mbak Bita tuh kayak penuh kasih sayang gitu. Bucin. Kelihatan jelas banget. Mbak Bita sih, nggak pekaan."

Aku makin tertegun akan ucapan Delisa. Rasanya tetap susah percaya jika apa yang dia katakan itu benar. Karena bahkan Bian sendiri tak menunjukkan atau memberiku clue apa-apa yang mengarah pada analisis gadis di depanku ini.

"Tapi aku seneng kalau Mbak Bita sama Mas Bian jadian," kata Delisa lagi. "Biar Mbak Bita nggak dituduh macem-macem lagi sama Mak Lampir."

Mataku mengerjap. "Kamu udah tahu?"

Delisa mengangguk sambil cemberut. "Semalem kan Mama sama Papa bahas itu, pas Mas Igo udah pulang. Sumpah ih aku nggak nyangka Mbak Bita digituin juga."

"Soal itu." Aku bangkit dan beralih duduk di tepi ranjang. "Jadi, Mbak Gadis salah paham sama kamu juga?"

"Iya, loh." Delisa memeluk boneka Minion dan menaruh dagu di atasnya. "Bukan yang dituduh jadi pelakor kayak Mbak Bita, tapi dituduh jadi pengganggu. Aku pernah didatengin sama Mak Lampir, disuruh jangan bergantung sama Mas Igo. Cuma gara-gara Mas Igo masih rutin transfer uang jajan tiap bulan, beliin makanan, terus kadang jemput aku di kampus. Masa yang kayak gitu dibilang bergantung, sih?"

Aku meringis. Jadi Delisa benar-benar dianggap sebagai pengganggu juga? Padahal mereka adalah kakak adik. Tidak seharusnya Tante Niken bersikap seperti itu kepada Delisa.

"Kamu bilang Mas Igo?"

"Nggak, sih. Tapi pas kemarin itu kan aku dibeliin tas sama Mas Igo, nah Mbak Gadis telepon aku. Nuduh aku minta dibeliin. Kayaknya Mas Igo diem-diem denger, deh. Nggak tahu juga, tapi mungkin mereka berantem? Aku nggak paham. Tadi malam pas pulang aja aku kaget pada ngumpul. Ternyata Mak Lampir ngelabrak Mbak Bita."

Aku mengangguk dan mengembuskan napas. "Mbak juga kaget. Tapi Mbak salah sih, soalnya sempat ngungkit soal masa lalu Tante Niken."

"Yang soal mantan suaminya selingkuh itu, ya?"

After Ten Years (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang