46. Gambar

894 249 23
                                    

46. Gambar

Setelah berdamai dengan anxiety, aku memang bisa sedikit lebih memahami diriku sendiri. Meski kondisi-kondisi itu terkadang masih sulit kukendalikan, tapi aku bisa menerimanya. Aku tidak membenci diriku sendiri, seperti yang kulakukan di masa remaja.

Namun berdamai bukan berarti semua lantas baik-baik saja. Bahkan meski terapi psikis telah sedikit banyak mampu membuatku jauh lebih tenang daripada awal-awal aku memiliki gangguan mental, tapi ada saja saat di mana panic attack itu tak bisa dihindari. Dan pemicunya tidak selalu kejadian secara langsung.

Seperti hari ini. Berawal dari tadi siang, Delisa memberitahuku tentang kejadian Tante Niken yang melabrakku di toko roti. Katanya, salah satu pengunjung merekam video itu dan mengunggahnya di sosial media. Setelah mengeklik link yang dikirim Delisa, aku sangat kaget karena video itu viral dan mendapatkan banyak komentar negatif yang ditujukan kepada Tante Niken.

Namun bukan itu yang membuat kecemasanku muncul. Ini salahku. Bodohnya aku, yang iseng menggulir video di bawahnya. Di mana video itu ternyata adalah rekaman perundungan yang dilakukan sekumpulan anak SMA kepada seorang murid SMP. Melihat mereka memukuli korbannya, aku merasa panik. Napasku sesak dan seluruh tubuhku gemetar. Karena itulah, aku mengurung diri di perpustakaan Ayah.

"Embak?"

Panggilan disertai suara ketukan itu mengagetkanku yang terbaring di sofa. Membuka mata, kutolehkan kepala ke arah pintu. Di sana, Radhi muncul dari sela daun pintu yang terbuka setengah.

"Tidur?" tanyanya.

"Enggak." Sembari mengubah posisi jadi duduk, kulempar senyum pada adikku itu. "Sini masuk."

Dalam diam, Radhi masuk dan membiarkan pintu tetap terbuka setengah. Dia meraih buku yang—baru kusadari—terjatuh di karpet, sebelum mengambil duduk di sebelahku.

"Ketika Aku Tak Tahu Apa yang Kuinginkan." Radhi membaca pelan-pelan judul buku itu, lalu menelusuri nama penulisnya dengan ibu jari. "Jeon Seunghwan." Dia menoleh. "Buku Korea?"

Aku mengangguk. "Terjemahan."

Sambil memiringkan bibir, Radhi membuka halaman demi halaman buku itu. Aku hanya memperhatikan bagaimana keningnya berkerut ketika dia membaca kalimat-kalimat yang tetulis di sana. Lalu tiba-tiba Radhi berhenti membuka halaman. Dia terdiam, sebelum menaruh buku yang masih terbuka itu di pangkuanku.

Ketika kulihat, ternyata Radhi sampai di bagian yang tadi sempat kuberi highlight. Tepatnya pada sub bab berjudul Jarak Tepat untuk Menyembuhkan Luka, di mana ada kalimat berbunyi seperti ini: "Mengubur luka jauh di bagian hati terdalam tidak dapat menghilangkan luka tersebut. Suatu saat, luka tersebut bisa muncul pada waktu yang tidak kita sangka. Air mata yang keluar secara tiba-tiba, karena luka yang tidak kita ketahui, bisa saja terjadi di hari yang sangat normal."

Aku tidak tahu apa yang membuatku menandai bagian itu. Mungkin saja karena kalimat itu begitu menarik. Buku yang baru-baru ini kubeli itu, ternyata isinya cukup menarik. Bahwa setiap orang memiliki ceritanya masing-masing. Berjuang menyembuhkan luka. Berjuang menemukan apa yang sebenarnya diinginkan. Berjuang menguatkan mental. Juga berjuang ... untuk hidup. Aku merekomendasikan buku itu untuk kalian yang sedang membutuhkan self healing.

"Embak."

"Hm?"

Radhi menatapku lama, sebelum menepuk-nepuk pundakku dengan pelan. "Capek?"

Tersenyum tipis, kusandarkan punggung di sofa. "Nggak juga. Mbak nggak ngapa-ngapain seharian ini."

Namun tepukan Radhi di bahuku tidak berhenti. "Yang di kepala, nggak ngapa-ngapain juga?"

After Ten Years (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang