23. Without Me

2.3K 441 43
                                    

Bab ini sebenarnya udah aku publish sebelumnya, tapi aku tarik lagi karena ada tambahan di bagian akhir. Jadi saranku, kalian tetep baca ya karena ada alur yang berhubungan dengan konflik. Kalau nggak mau baca ulang, loncat ke bagian akhir aja nggak apa-apa. Thank you ♡

*

23. Without Me

Bekerja dengan terus duduk di depan layar laptop membuatku sangat jarang melakukan aktivitas olahraga. Bukan hanya Buna dan Ibu, Radhi pun sering menyinggung hal yang satu itu. Terkadang Radhi memaksaku berolahraga bersama. Contohnya seperti di hari Minggu ini, dia dan Delisa mengajakku lari pagi di taman kota. Dan baru beberapa kali putaran, aku sudah merasa kehabisan napas.

"Mbak istirahat dulu," kataku sembari duduk di sebuah bangku beton, mengatur napas yang ngos-ngosan.

"Cemen." Radhi berkacak pinggang, sementara Delisa berjongkok di sebelahnya. "Gini nih kalau males olahraga. Lari dikit doang udah ngik ngok."

"Kaki Mbak pegel." Kupijat-pijat betis yang terasa tegang.

"Kalau udah terbiasa nggak bakal gampang capek." Radhi menarik tanganku. "Ayo, biasain."

Kulepaskan pegangan Radhi. "Kamu aja."

Radhi memutar bola mata. "Cewek emang lemah."

Aku langsung mencubit lengan Radhi, sementara Delisa mendorongnya dengan kekuatan penuh sampai adikku jatuh tersungkur.

"Makan tuh lemah!" ketus Delisa sambil bangkit berdiri.

Radhi merengut sambil bersila di atas rumput. "Cewek bar-bar susah cari pacar entar!"

"Nggak ada juga yang mau sama cowok julid. Apalagi cowoknya kayak kamu!"

"Kamu juga?"

"Juga apa?"

"Nggak mau sama aku?" Radhi menyugar rambut kemudian mengedipkan sebelah mata. "Julidnya dikit, gantengnya banyak."

Delisa melongo untuk sejenak, sebelum menarik tanganku. "Kak, tolong pijat leherku."

Keningku berkerut. "Kenapa?"

"Mau muntah!"

Aku tertawa kecil. Radhi bangkit dan berniat menjepit leher Delisa dengan ketiak, membuat gadis itu berlari menghindar. Mereka kemudian berkejaran dan sedikit menjauh dari tempatku duduk. Benar-benar seperti anak kecil. Namun aku jadi lega karena Radhi melupakan niatnya untuk memaksaku lanjut lari.

Membiarkan dua anak itu saling menjaili, aku mengeluarkan ponsel untuk memeriksa pesan yang mungkin masuk. Namun ternyata tidak ada yang penting. Aku dan Moana memang sudah sepakat jika Minggu adalah hari tenang, karena itu kami tidak akan membicarakan pekerjaan. Hanya saja, entah kenapa beberapa hari ini aku merasa dia sedang menghindariku. Bahkan membalas pesanku pun hanya singkat saja, tidak seperti biasa. Aku penasaran ada apa dengannya. Apa dia sedang ada masalah?

Lalu catatan panggilan yang masuk beberapa jam sebelumnya, menarik perhatianku. Aku sedang mandi saat ponselku berdering. Namun sampai sekarang aku masih ragu untuk menelepon balik. Karena dia adalah Mas Vigo.

Jujur tadi aku sempat terkejut melihat notifikasi itu. Bagaimanapun sejak kejadian itu, aku dan Mas Vigo tak pernah berkomunikasi lagi. Bahkan saat mengucapkan maaf pun, dia hanya menyuruh Delisa untuk menyampaikannya kepadaku. Aku bahkan tidak melihatnya datang ke rumah Tante Tiara, meski Delisa bilang jika Mas Vigo sering datang. Ada rasa tak nyaman setiap aku berpikiran bahwa Mas Vigo menghindariku. Bahwa mungkin dia berusaha mendapatkan kepercayaan istrinya dengan cara menjauhiku.

Namun pikiran buruk itu berusaha kutepis. Bagaimanapun, lebih baik jika Mas Vigo dan Mbak Gadis tetap akur. Aku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi jika mereka tidak harmonis hanya karena kesalahpahaman antara aku dan Tante Niken. Itu tidak bagus untuk Elang, terutama.

After Ten Years (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang