Bab 1

4.4K 381 17
                                    

Angin berhembus menerpa rambut panjang Naila yang kini tengah termenung di depan sebuah makam yang sangat terawat. Makam sang Ayah yang sudah 10 tahun meninggalkannya. Sedangkan sosok Ibu? Entah, sejak kecil ia hanya dibesarkan oleh Ayahnya, banyak gunjingan yang sering terdengar bahwa ibunya menikah lagi dengan lelaki kaya karena sudah tak sudi hidup miskin bersama ayahnya. Namun ia tidak cukup untuk peduli mengulik berita tak penting dari Ibunya.

Yang ia pedulikan hanya sang ayah. Ia tidak peduli dengan sosok Ibu, meskipun wanita itu berperan penting dalam mengandung sampai melahirkannya, ia tidak peduli dan tidak ingin tahu apa pun yang dilakukan wanita itu.

Sebuah tepukan lembut di pundak mengagetkan dari lamunan. Kemudian ia menoleh dan melirik Mbah Sri. Neneknya yang terlihat masih cukup bugar di usianya yang kini menginjak ke 80 tahun.

"Mbah."

Wajah keriput itu tersenyum.

"Sudah Nduk, bapak kamu juga pasti mengharapkan yang sama seperti kita."

Naila terdiam. Di satu sisi benar ucapan mbahnya. Tetapi di sisi lain. Ia merasa tak ingin meninggalkan desa ini. Terlebih ada makam sang ayah yang selalu rutin ia bersihkan. Seperti ayahnya terus ada dan tidak pernah jauh dari jangkauannya. Sekarang ia harus meninggalkan makam sang ayah demi pengobatan putranya yang tengah terbaring sakit.

"Kalau begitu Naila titip makam Bapak ya Mbah. Kalau Imam sudah sembuh Naila janji akan cepat pulang lagi ke sini. Mbah juga baik-baik jangan sampai sakit lagi gara-gara kecapean."

"Kamu jangan khawatir. Yang penting Imam sembuh. Mbah masih bisa rawat rumah dan makam ayah kamu."

Anggukan Naila terlihat. Ia kemudian memeluk tubuh ringkih itu sebagai salam terakhir karena beberapa menit lagi ia harus ke rumah sakit karena keberangkatan Imam yang akan di rujuk ke salah satu rumah sakit terbesar di Jakarta.

Naila tidak punya pilihan selain membawa Imam untuk berobat ke tempat yang lebih baik. Ia tidak mau sesuatu yang buruk terjadi lalu menyesal mengapa tidak bergerak cepat untuk menyembuhkan Imam sedang rumah sakit di desanya tidak menunjang alat medis yang lengkap seperti rumah sakit besar di kota.

Ia sudah mengorbankan harta warisan, tanah sawah dari almarhum ayahnya. Dan mendapatkan uang yang cukup untuk membawa Imam ke rumah sakit tersebut.

Meskipun begitu Naila harus tetap mencari pekerjaan sesampainya di kota. Ia tidak mungkin hanya diam menunggu kesembuhan Imam sedangkan uang bekalnya semakin hari semakin menipis untuk membayar biaya rumah sakit.

Maka dari itu ia menghubungi temannya terlebih dulu untuk meminta bantuan untuk mencarikan sebuah pekerjaan untuknya.

Bekerja sebagai ART atau jadi tukang gosok pun tak masalah. Yang terpenting ia masih bisa mengumpulkan uang agar Imam cepat sembuh dari sakitnya. Naila tidak bisa mencari pekerjaan yang lebih baik karena izasahnya hanya tamatan SMP saja.

***

Masih teringat jelas dalam ingatannya, kecelakaan di sungai itu begitu mengerikan. Akibat kelalaiannya, Imam terjatuh dan kepalanya membentur sebuah batu besar. Alhasil Imam menderita luka yang parah di bagian kepala dan lebih buruk belum juga terbangun dari tidur panjangnya.

Naila menggenggam tangan mungil berusia 3 tahun itu. Setelah melewati beberapa jam di perjalanan akhirnya mereka sampai di rumah sakit ini. Imam sudah di pindahkan ke ruangan ICU. Karena Imam tak punya kartu jaminan kesehatan biayanya pun tidak main-main. Itu yang membuat Naila semakin bingung harus mencari tambahan uang dari mana? Sedangkan temannya belum juga bisa dihubungi lagi setelah pembicaraan mereka kemarin.

Ia hanya bisa berdoa keajaiban datang. Dan anaknya bisa sembuh kembali seperti sedia kala.

"Nak, bangun. Mama kangen loh main sama Imam," gumam Naila air matanya menetes melihat kedua mata anaknya masih terkatup rapat beserta alat-alat medis yang melekat di tubuh anaknya.

Secret Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang