Bab 3

2.8K 344 15
                                    

Langkah Naila menelusuri jalan yang dilalui Gian. Tertegun saat berpapasan dengan seorang wanita cantik yang akan memeluk majikannya namun malah ditepis kasar oleh tangan lelaki itu.

"Jangan pernah datang kemari lagi."

Wanita itu terlihat kaget. "Gian baru saja semalam kita-"

"Jika aku mengatakan pergi maka kau harus pergi. Sebelum aku menyuruh seseorang untuk menyeretmu keluar dari sini."

Ekspresi wajah cantik itu langsung berubah merenggut kesal dengan hentakan kasar wanita itu langsung pergi dari hadapan Gian lalu berhenti saat menatap Naila yang mengekori mantan partner tidurnya.

Tatapan wanita itu terlihat marah menatap Naila dari ujung kepala sampai ujung kaki dan itu sedikit membuat Naila gugup.

Langkah mereka sampai di ruangan pribadi Gian, terlihat banyak tumpukan buku yang tersusun rapi di rak penyimpan dekat meja yang kini tengah lelaki itu tempati.

Gian terduduk di sana. Dan memberikan sebuah catatan kecil saat Naila berdiri kaku di depan meja lelaki itu.

Tatapan Gian kini mengarah ke arah wajah Naila yang tertunduk, terlihat begitu cantik di matanya. Gian akui dari awal ia menemukan wanita ini. Ketertarikan itu mulai berulah dalam dirinya, ditambah sangat menarik ia mendapatkan seorang pembantu dengan paras yang menyerupai wajah bidadari. Dari segi penampilan memang kumuh dan kampungan hanya saja yang membedakan wajah yang sangat cantik itu begitu berbeda. Sangat disayangkan Naila adalah seorang janda beranak satu berstatus sebagai pembantunya sendiri. Begitu tidak cocok dengan imej wanita yang selama ini menjadi boneka di atas ranjangnya.  

"Kamu duduklah dan baca apa yang harus kamu kerjakan."

Naila tersentak dengan perintah Gian. Dengan ragu wanita itu perlahan mulai menurut dan duduk di depan lelaki itu sambil meraih catatan kecil yang tengah Gian sodorkan.

"Itu daftar pekerjaanmu. Dan kuharap kamu sanggup menyelesaikannya sebelum waktu jam 3 sore."

Mata Naila membaca rentetan pekerjaanya dalam hati ia merasa resah takut tidak bisa bertanggung jawab menyelesaikan pekerjaan tersebut sampai tepat waktu. Namun Naila akan mencoba demi putranya. Ia akan bekerja semaksimal mungkin.

"BaikTuan Gian, saya akan berusaha menyelesaikannya dengan baik."

"Dan satu hal lagi. Aku tidak suka tinggal dengan pembantu, jadi kamu tidak perlu menginap di sini."

Naila langsung mengangguk. "Saya mengerti. Saya akan tidur di rumah sakit sambil menjaga anak saya. Terima kasih sudah memberikan pekerjaan ini."

Gian tidak menjawab rasa terima kasih dari Naila ia langsung berdiri begitu saja dari duduknya. "Kalau begitu silahkan mulai bekerja. Sebentar lagi aku juga akan berangkat kerja."

Naila buru-buru ikut berdiri dan membungkuk hormat ke arah Gian yang siap untuk pergi.

"Baik Tuan Gian. Terima kasih."

***

Gian keluar dari kamar mandi dengan tubuh bersih. Sudah memakai setelan kantor yang melekat di badannya dengan sempurna.

Ia berjalan menyusuri lantai kamarnya sampai kakinya berhenti di balkon kamar dan memandang pemandangan mentari yang menyorot di pagi hari. Tak sengaja matanya malah menangkap tubuh Naila yang terlihat tengah menyiram tanaman di taman kecil belakang rumahnya.

Lelaki itu memperhatikan Naila dengan intens.

"Gila! Kenapa aku masih tidak bisa menghapus wajahnya dari pikiranku. Bisa-bisanya aku berpikir dia wanita tercantik yang pernah kutemui," decakan tak percaya Gian dimuntahkan mulutnya dengan sinis.

Merasa heran dengan pemikirannya sendiri. Bisa-bisanya ia berpikiran gila seperti ini. Padahal jika diperhatikan dari segi penampilan tak ada menariknya sedikit pun. Tetapi Gian sudah terlanjur jatuh terhadap paras Indah yang menawan itu.

Gian menggelengkan kepalanya. Dengan cepat menghapus keindahan itu dari matanya dan melangkah tergesa kembali memasuki kamar.

Tidak baik jika ia terus memperhatikan Naila. Itu akan membuat otaknya semakin tak waras.

.

.

.

Jarum jam sudah menunjuk angka 7 pagi. Naila baru selesai memasak dan saat ini tengah menata rapi makanan itu di atas meja makan.

Naila menghela napasnya. Akan sangat melelahkan bekerja seperti ini. Biasanya di desa ia hanya bekerja sebagai pedagang gorengan dan kue yang tidak terlalu menguras tenaga.

Waktu jam 9 siang saja dia sudah bisa kembali ke rumah dan mendapatkan uang. Walaupun nominalnya sedikit tetapi itu sudah sangat cukup untuk memenuhi kehidupannya sehari-hari.

Di sini cukup berat pekerjaannya,  ditambah rumah Gian sangat luas tetapi Naila tidak akan menyerah hanya karena pekerjaan seperti ini. Demi anaknya dia akan menepis semua rasa lelah itu. Yang terpenting Imam bisa sembuh lagi seperti sedia kala.

Dreeet

Suara kursi yang ditarik berhasil mengalihkan fokus Naila. Ia terkejut setelah mendapati Gian kini sudah terduduk di samping tubuhnya.

"Aku perhatikan pekerjaanmu sangat tidak fokus. Lihat, air dari sup nya tumpah ke mana-mana!"

Tegoran kasar Gian refleks membuat Naila tersadar. Dengan cepat ia menyeka air dari sup ayam tersebut dengan tissue yang tersedia di meja makan.

"Maafkan saya Tuan."

"Aku tidak suka jika memiliki pekerja tidak fokus seperti kamu!"

Naila refleks menggeleng. Merasa ia melakukan kesalahan besar. "Ma-maafkan saya Tuan. S-saya hanya kepikiran anak saya."

Lelaki itu masih memperhatikan Naila. Usia wanita ini masih sangat muda berbanding terbalik dengan usianya yang sudah menginjak 30 tahun.

Tetapi ia sudah pernah menikah bahkan mempunyai anak. Itu sedikit membuat Gian penasaran. Jika usia anaknya 3 tahun kemungkinan Naila mengandung anak itu saat usianya 18 tahun. Lalu mereka menikah di usia berapa?

Tidak mungkin kan dia menikah di usia 17 tahun? Itu terlalu dini untuk manusia melangsungkan sebuah janji pernikahan. Naila di tahun tersebut tentu saja masih menjadi anak bau kencur.

Apa jangan-jangan karena sebuah kecelakaan? Dia hamil duluan?

Gian semakin penasaran. Untuk membuat rasa penasaran itu enyah di kepalanya Gian mencoba untuk bertanya.

"Apa mantan suamimu tau anaknya sakit dan di rawat di sini?"

Dari raut wajah yang terlihat tidak biasa. Gian menyimpulkan hubungan Naila dan mantan suaminya tidak berjalan dengan baik.

Kepala Naila terlihat menggeleng menjawab pertanyaannya.

"Tidak Tuan. Saya membawa Imam berobat di kota ini hanya seorang diri."

Gian mendengus. "Seharusnya kamu beri tahu. Setidaknya dia harus tau bagaimana kondisi anaknya. Dia bisa bekerja keras untuk melunasi biaya rumah sakit sedangkan kamu menjaga anakmu. Bukankah itu lebih baik dari pada bekerja sambil menjaga anak?"

Naila hanya tersenyum kecil saat Gian memberikan saran yang tak mungkin bisa terjadi. Sudah bertahun-tahun lamanya Naila tidak bertemu dengan lelaki itu. Ia tidak ingin ada pertemuan lagi setelah semuanya menjadi menyakitkan seperti ini.

Ia bisa membesarkan anakanya seorang diri dan lelaki itu tidak perlu ikut campur terhadap kehidupan ia dan anaknya.

"Dia tidak perlu tau. Saya bisa menjaga anak saya dan saya juga bisa membesarkannya seorang diri. Kalau begitu saya permisi Tuan. Saya mau lanjut beres-beres di dapur."

Gian tidak bisa berbicara lagi. Mendengar Naila mengatakan hal tersebut membuat Gian mengerti ia sedang tidak mau membicarakan tentang masa lalu mantan suaminya.

Dan itu semakin membuat Gian penasaran tentang masa lalu wanita ini.

Kenapa mereka bisa bercerai di usia muda seperti itu?

Bersambung...

Secret Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang