Malam berikutnya, aku dan Sherlock sudah berada di Royal Theater yang terletak di pusat kota London. Sebagai penggemar opera dan drama, sebenarnya kami cukup sering melakukannya.
Tapi kali ini kami datang bukan karena ingin menonton pertunjukan. Kami ingin mencari profil si pembunuh di antara para aktor yang ada di teater ini. Kenapa aktor? Dan kenapa teater? Itu juga yang kutanyakan pada sahabatku.
"Sangat sederhana, Watson," ujar Sherlock. "Pelaku pembunuhan ini jelas seorang yang menguasai akting dan tata rias wajah. Di mana lagi tempat mencari orang seperti itu selain di teater terbaik di London?"
Apa yang dia katakan itu membuatku sangat terkejut. Tak bisa kubayangkan salah satu dari para seniman besar itu sebagai pembunuh berdarah dingin. Tapi lalu kusadari bahwa aku melupakan sesuatu yang sangat jelas.
Bukankah aku menikmati pertunjukan karena kemampuan mereka memerankan berbagai karakter?
Maka selama beberapa jam kami menonton dengan kacamata yang berbeda. Kami memperhatikan tiap aktor yang punya postur mirip si pembunuh. Masalahnya, ada beberapa yang cocok. Salah satunya perempuan. Meski begitu, menurutku dia tak layak dicurigai.
Tapi Sherlock malah berkata, "Watson, kelak ada masa di mana perempuan diakui bisa melakukan apa saja. Negatif atau positif. Bahkan dalam soal ketangguhan dan ketrampilan fisik. Jadi belajarlah berpikir jauh ke depan."
Begitulah. Sherlock akhirnya mencurigai salah seorang aktor sebagai sosok yang dicurigai. Harus kugaris-bawahi, bahwa Sherlock yang mencurigainya. Bukan aku. Aku pusing ketika harus mengamati mereka sebagai pemburu, bukannya sebagai penggemar
Aku tak bisa menyebutkan identitas aktor yang dicurigai Sherlock. Kehormatan keluarga dan teman-teman dekatnya harus kujaga. Cukup jika kami menyebutnya sebagai Shakespeare. Kebetulan dia sering memainkan drama yang ditulis sastrawan besar itu.
Tapi tentu bukan karena itu Sherlock mencurigainya.
"Yang lain memiliki kemampuan akting setara, Watson. Tapi hanya dia yang menunjukkan ketangkasan dan kegesitan di atas rata-rata. Kemampuan yang ditunjukkan oleh si pelaku pembunuhan."
Apa yang terjadi kemudian tidak aku saksikan secara langsung. Sherlock memutuskan langkah selanjutnya terlalu berbahaya. Dia akan melakukannya sendirian, tanpa melibatkan aku.
Jadi semua yang tertulis setelah ini adalah berdasar keterangan yang disampaikan sahabatku. Tapi aku akan mengemasnya sedemikian rupa sehingga pembaca bisa turut merasa bersamanya di tempat kejadian.
Yang dilakukan Sherlock kemudian adalah mendatangi kediaman tersangka. Mencari bukti bahwa kecurigaannya beralasan. Dia melakukan itu malam berikutnya ketika Shakespeare sedang pentas. Aku sendiri hadir di teater. Menonton dan mengawasi tersangka pembunuh itu.
Shakespeare tinggal di pinggir kota. Rumahnya agak terpencil. Satu hal yang membuat Sherlock semakin yakin dugaannya benar. Sahabatku tidak kesulitan memasuki rumah tersebut. Tidak ada seorang pun di sana. Baik pelayan maupun penjaga. Sesuatu yang ganjil mengingat rumah itu cukup besar.
"Menarik sekali," gumam Sherlock. "Sebagai aktor kenamaan, kau bisa menggaji seratus pelayan untuk mengurus semuanya selama dua puluh empat jam. Tapi kenapa tidak kau mau, Shakespeare yang baik? Kenapa sepertinya kau lebih suka menyewa mereka secara paruh waktu saja?"
Sherlock memeriksa ruang utama tanpa menemukan sesuatu. Itu tidak membuatnya heran. Namun ketika dia mulai menyusup ke kamar pribadi Shakespeare dan tetap tidak menemukan apa-apa, dia mulai mengerutkan kening.
"Apakah kecurigaanku tidak beralasan?" gumamnya. "Atau dia jauh lebih berhati-hati dari yang aku perkirakan?"
Kamar pribadi aktor itu mencerminkan karakter seseorang yang hidupnya dicurahkan untuk seni panggung. Khususnya yang berkaitan dengan karya Shakespeare yang sebenarnya. Di tiap dinding terpasang lukisan tokoh-tokoh dramanya. Di atas meja pajang juga terdapat patung-patung kecil dari karakter sejenis. Dari Hamlet, Julius Caesar, Richard III, sampai Sir John Falstaff.
Tak ada petunjuk apapun yang mencurigakan.
Sherlock menghela nafas. "Sepertinya aku harus minta maaf, Temanku yang berbakat. Sepertinya kau tak lebih dari apa yang kau tunjukkan di panggung. Tak ada apapun di antara barang-barangmu yang memperlihatkan...eh, tunggu! Tunggu dulu! Aha, apa yang ada di sana itu?"
Sherlock melihat bahwa di antara koleksi patung kecil tersebut ada yang lain dari yang lain. Dari semua koleksi berbau Shakespeare, ternyata ada satu yang bukan merupakan karakter karya dramawan tersebut. Satu patung merupakan model replika dari Oedipus, tokoh fiksi dari drama tragedi Yunani kuno.
Tokoh yang membunuh ayahnya sendiri.
"Satu penyimpangan dari hampir seratus persen koleksi Shakespeare?" Sherlock menyeringai tajam. "Sangat ganjil, temanku. Sangat ganjil."
Sherlock menyentuh patung itu, berusaha mengangkatnya. Tapi dia terkejut ketika menyadari patung tersebut terpaku di permukaan meja. Ada bunyi detakan saat dia terus menariknya. Lalu terdengar suara seperti rangkaian mekanik yang bekerja susul-menyusul.
Apa yang terjadi kemudian membuat sang detektif terpana.
Salah satu panel di dinding bergeser membuka, memperlihatkan sebuah pintu rahasia yang menganga. Sherlock tersenyum sendirian. "Ah, kau rupanya benar-benar seorang bocah tua yang nakal, Shakespeare."
Sherlock melangkah memasuki pintu rahasia tersebut. Ada lorong yang gelap dengan anak tangga menurun di baliknya. Namun di ujung lorong tersebut ada cahaya samar.
Tanpa ragu, Sherlock bergegas melangkah menyusuri anak tangga tersebut dan sampai di sebuah bilik bawah tanah yang cukup luas. Sebuah lampu gas kecil memberikan penerangan sekedarnya.
Cukup terang buat Sherlock untuk terbelalak melihat isi bilik tersebut.
Bilik itu memperlihatkan karakter yang sangat berbeda dengan ruang di atasnya. Tak ada barang seni apapun di sana. Yang ada justru berbagai ragam senjata tajam maupun senjata api. Dari berbagai negara maupun berbagai zaman.
Sherlock mengenali katana dari Jepang, keris dari Jawa, katumoor dari Amerika Selatan, pistol pergelangan tangan dari Sisilia, sampai senapan Winchester berlaras ganda dari Texas.
Sherlock bersiul puas. "Maafkan aku telah mengungkap identitasmu yang sebenarnya, Shakespeare."
"Tak perlu minta maaf, Tuan Holmes," terdengar suara tenang dan dingin di belakangnya. "Ketika melihat Anda di pertunjukan saya tadi malam, saya sudah menduga hal seperti ini takkan terhindarkan."
Terkejut, Sherlock cepat berpaling dan melihat Shakespeare telah berdiri di belakangnya. Saat itu dia sadar musuh yang dihadapinya jauh lebih berbahaya dari siapapun yang dijumpai sebelumnya.
Shakespeare telah berhasil menyelinap dari theater tanpa ketahuan olehku. Dia juga mampu mengawasi Sherlock tanpa ketahuan. Sahabatku yang biasanya awas sama-sekali tidak sadar dibuntuti sampai ke ruang rahasia itu.
Lebih parah, di tangan pembunuh itu tergenggam sepucuk pistol.
.....
KAMU SEDANG MEMBACA
Sherlock Holmes and The Sinister Shakespeare
Mystery / ThrillerSherlock Holmes dimintai bantuan untuk mencari dalang di balik pembunuhan terhadap tokoh-tokoh politik dan ternyata harus berhadapan dengan musuh yang tidak hanya tangguh tapi juga licin.