3. PERTARUNGAN KECERDASAN

33 3 0
                                    

Saya selalu mengikuti petualangan anda, Tuan Holmes," ujar Shakespeare dengan ramah. "Sudah saya duga jalan kita suatu saat akan bersilang. Tetapi tidak secepat ini. Anda lebih hebat dari perkiraan saya."

Sherlock menepis dengan sopan. "Tak usah merendah, Tuan. Kemampuan anda sendiri sangat mengesankan. Mampu membaca rencana saya dan membuntuti tanpa kedengaran. Itu tak bisa dilakukan orang lain sebelumnya."

Shakespeare nampak berseri, namun tetap tenang. "Pujian dari anda tentu sangat berharga. Sungguh, saya menyesal harus membunuh anda. Tapi idealisme saya lebih penting dari kekaguman pada anda. Tentunya anda bisa memaklumi."

"Saya paham, Tuan," kata Sherlock sungguh-sungguh. "Tapi kalau boleh tahu, apa sebenarnya yang anda sebut sebagai idealisme itu? Anggaplah penjelasan anda sebagai permohonan yang terakhir dari saya."

"Dengan senang hati, Tuan Holmes. Saya adalah seseorang yang menginginkan perubahan. Dan untuk mencapainya, segala bentuk status-quo harus dihancurkan. Termasuk mereka yang mempertahankannya. Sayangnya, anda termasuk golongan terakhir ini."

"Sepertinya anda keliru, Tuan," kata Sherlock. "Saya selalu terbuka pada setiap perubahan, kecuali jika untuk mencapainya harus membenarkan pembunuhan."

Shakespeare tersenyum. "Itu artinya anda tidak benar-benar terbuka. Sejarah sudah menjelaskan dengan gamblang. Tak ada perubahan tanpa pengorbanan. Tak mungkin membuat telur dadar tanpa memecahkan kulitnya, bukan?"

Sherlock membalas dengan senyuman pula. "Sepertinya cara kita membaca sejarah sangat berbeda. Menurut saya, sejarah justru mengajarkan kebalikannya. 'Pengorbanan' yang anda lakukan adalah jalan ke arah kekacauan. Anda tentu tidak berpikir kekacauan itu identik dengan perubahan, bukan?"

Senyum Shakespeare berubah menjadi tawa yang terkekeh. "Justru sebaliknya. Saya meyakini kekacauan adalah ibu kandung perubahan. Memang korban tak berdosa akan berjatuhan. Tapi apalah arti ribuan korban tak berdosa jika itu bisa membahagiakan jutaan orang lainnya?"

"Itukah yang akan anda lakukan, Tuan?" tanya Sherlock, nada suaranya berubah dingin. "Membunuh ribuan orang tak berdosa?"

"Seorang bijak dari timur pernah bilang kalau punya impian jangan setengah-setengah," sahut Shakespeare.

"Orang yang sama juga bilang kalau impian bisa berakhir sebagai mimpi buruk," balas Sherlock.

Shakespeare tergelak. "Benar-benar perdebatan yang menarik, Tuan Holmes. Lidah dan otak anda ternyata sama-sama tajam. Tapi saya rasa kita sudah terlalu lama berbincang-bincang. Saya masih banyak urusan."

Shakespeare mengarahkan senjatanya ke kepala Sherlock. Tapi sebelum dia menarik picunya, tiba-tiba detektif itu berkata, "Sebuah kesalahan yang fatal jika anda menembakkan revolver itu, Tuan."

Sesuatu dalam nada bicara Sherlock membuat Shakespeare ragu-ragu. Dia menahan jarinya dan bertanya, "Dan kenapa anda berpendapat demikian, Tuan Holmes?"

Sherlock tersenyum tipis. "Karena anda membuat kesalahan yang sangat besar."

Shakespeare tak menunjukkan ekspresi apapun saat menyahut, "Saya yakin tidak membuat kesalahan apapun, apalagi yang besar."

"Jika anda memang tidak membuat kesalahan apapun," tegas Sherlock, "maka seharusnya tidak tercium bau gas di ruangan ini."

Shakespeare mengerutkan kening. Tanpa sadar, dia pun mengendus-endus udara dalam ruangan itu. Dan ternyata memang ada bau gas yang tajam.

"Saya memang mencium bau yang anda maksud," kata Shakespeare mengakui. "Tapi saya tetap tidak melihatnya sebagai kesalahan. Adalah lumrah ada bau gas di rumah manapun. Anda bisa melihat bahwa ruangan ini menggunakan lampu gas."

"Anda benar," Sherlock tidak bergeming. "Memang wajar ada bau gas, karena penerangan jaman sekarang menggunakan lampu gas. Tapi tentu anda pernah mendengar kecelakaan akibat penggunaan penerangan jenis ini. Seperti ledakan yang memakan korban jiwa, misalnya."

Shakespeare tersenyum sinis. "Dan anda yakin kecelakaan seperti itu akan terjadi di sini, Tuan Holmes? Tepat pada saat saya akan menghabisi anda?"

"Tepat sekali, Tuan," tandas Sherlock, dengan senyum sinis yang nyaris serupa. "Dan itu karena anda sepertinya kurang memahami prinsip fisika sederhana."

"Dan anda merasa lebih paham soal itu?" balas Shakespeare, tak mau kalah.

"Setidaknya saya lebih tahu satu hal," sahut Sherlock kalem. "Bahwa akumulasi gas dalam ruang tertutup tanpa ventilasi seperti bilik bawah tanah ini bisa menimbulkan ledakan jika ada api yang tiba-tiba dinyalakan. Dari tembakan pistol, misalnya."

Raut muka Shakespeare berubah seketika. Dia sadar Sherlock telah menang satu langkah. Detektif tersebut telah menyadari sesuatu yang luput dari perhatiannya. Dan itu membuatnya sebal.

"Saya tidak bisa membantah, Tuan Holmes," kata Shakespeare dengan segan-segan. "Saya harus mengakuinya. Tapi tak masalah jika ternyata senjata api ini tak berguna. Seperti kata pepatah lama, tak ada rotan maka akar pun jadi."

Sambil berkata demikian, Shakespeare menyimpan kembali revolver tersebut di balik kemejanya. Lalu, dengan gerakan yang sangat cepat, dia meraih crossbow yang dipajang di dinding.

Dan langsung melepaskan anak panahnya ke arah Sherlock.

......

Sherlock Holmes and The Sinister ShakespeareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang