Bab 1 - Menantu Bodoh

32 5 0
                                    

"Anya, apa yang kau lakukan? Aku memintamu memasak makanan yang enak, bukan sampah seperti ini." Monic melempari semua makanan yang telah Anya masak dengan susah payah. Anya selalu merasakan apapun yang dia lakukan salah, tidak ada yang bisa menerima dia di rumah, bahkan suaminya tidak pernah memberikan kabar atau pulang untuk menemuinya.

"Ma, aku …."

"Cukup! Jangan bicara, kau itu tidak bisa apa-apa. Entah kenapa aku dulu memungutmu, keluargaku sudah rugi banyak karena telah menjadikan kau seorang menantu." Lagi-lagi penghinaan bak tamparan keras menembus ke tulang rusuk Anya, dia tertunduk menelan semua hinaan yang diberikan Monic.

"Maaf mengganggu Bu, di luar ada adik Non Anya ingin bertemu." Anya tersenyum dan ingin sekali berlari menemui adiknya, sejak lima tahun lalu Anya sama sekali tidak diberi izin bertemu keluarganya.

"Anya, masuk ke kamar!" Lagi-lagi harapan Anya terkikis.

"Tapi Ma, aku ingin bertemu sama Anisa."

"Mama bilang masuk ke kamar, kau tidak boleh bertemu dengan keluargamu, mereka itu menyusahkan sama sepertimu," cela Monic membuat air mata Anya berjatuhan. Anya tak punya pilihan lain, dia masuk ke kamarnya. Dia menangis sejadi-jadinya, Anya tak pernah mendapatkan kebahagiaan, sejatinya rumah tangga ada kebahagiaan kecil menganugerahkan mereka, tapi semua itu tidak akan pernah terjadi. Ini semua salahnya karena telah menyetujui permintaan Raka.

"Non Anya, jangan menangis." Suara Bu Surti merupakan maid senior di rumah besar ini membuat Anya menoleh ke arahnya, hanya Bu Surti yang selalu menganggapnya manusia di sini.

"Kenapa saya dijadikan menantu di rumah ini? Saya diperlakukan seperti sampah bukan manusia, mungkin anjing peliharaan mereka lebih baik daripada saya," ungkap Anya. Bu Surti merasa iba, tapi dia hanya bisa memberikan pelukan kepada Anya.

"Nyonya sangat menyayangi Mas Raka, mungkin nyonya Monic takut kasih sayang Mas Raka terbagi." Anya semakin sedih mendengarnya, mana mungkin seorang istri bisa menggantikan posisi ibunya. Bukankah posisi mereka sudah pada dasarnya berada di tempat masing-masing. Lagipula Anya dan Raka tidak saling mencintai, hubungan mereka hanya berdasar uang sepuluh juta dollar.

"Saya tidak mungkin melakukan itu, Bu. Saya bahkan sampai hari ini Mas Raka gak pernah pulang." Hal inilah yang memberatkan Anya, setelah ijab kabul Raka pergi  meninggalkannya bersama ibu mertua yang jahat.

"Bu Surti mengerti perasaan Non Anya, lebih baik sekarang Nona Anya istirahat, masalah dapur biar Bu Surti dan yang lain mengurus untuk makan malam."

Setelah Bu Surti keluar dari kamarnya, Anya ke balkon kamar, dia melihat adiknya keluar dari rumah dengan wajah sedih. Entah bagaimana caranya dia bisa bertemu Anisa, sudah lima tahun berlalu, Anya menjual dirinya sendiri untuk pengobatan ibunya sakit keras, dokter menyarankan ibunya dibawa berobat luar negeri karena penanganan ibunya pasti akan lebih baik.

Penyakit Lastri ibunya semakin parah, dan harus segera diobati, ketika itu Anya hanya bekerja sebagai penjaga toko bangunan, gaji Anya juga sebulan hanya cukup untuk biaya sekolah adiknya, dan makan sehari-hari mereka. Untuk check up Lastri kadang Anya meminjam uang dari juragan tempat Anya bekerja.

"Maafin Anya Buk, sampai hari ini Anya belum bisa menemui ibu. Hiks." Anya yakin kedatangan Anisa ingin memberikan kabar tentang ibunya. Rasa pilu menghantam naluri Anya.

"Anya!" pekik Monic membuat Anya terjungkit kaget.

"Iya, Ma. Ada apa?" Anya berjalan pelan menghampiri Monic yang melotot kepadanya.

"Kamu tanya ada apa? Ngapain adik kamu itu kemari? Minta uang lagi, sepuluh juta dollar masih kurang untuk keluarga miskin kamu itu," hina Monic. Dari awal dia sama sekali tidak setuju dengan ide gila suaminya menyuruh Raka menikah dengan gadis miskin seperti Anya, hanya menyusahkan. Dan benarkan bikin repot, bukan Anya saja tapi keluarganya juga. Andai itu bukan salah satu syarat agar Raka bisa memimpin perusahaan, dia tidak menikahi Raka terburu-buru.

"Hiks … Anya minta maaf, Ma."

"Kamu itu hanya bisa bilang maaf. Dasar menantu bodoh!" umpat Monic. Kadang kebodohan memang menyakitkan, Anya menekan dalam rasa sakitnya. Kalau bukan demi ibu, dia tidak mungkin bertahan dan setuju dengan ide gila Raka.

Menangis mungkin pilihan terbaik dalam hidup Anya, menjadi istri sah Raka Alasta Marquen sebuah mimpi buruk bagi Anya. Ketika semua wanita ingin menggantikan posisinya, dia justru tak sanggup lagi berada di tempat bagaikan neraka ini.

"Sekarang kamu pergi belanja ke pasar, beli keperluan dapur. Ini daftar yang harus kamu beli." Monic memberikan daftar kertas. "Dan satu lagi, kamu pergi pakai taxi aja." Anya mengangguk, padahal biasanya Anya tidak diperbolehkan untuk pergi sendiri, apalagi kalau bukan takut kabur. Dia sempat heran, namun tak Anya gubris perasaannya.

***

"Kak Anya," panggil seorang gadis, suaranya sangat familiar bagi Anya. Ia berbalik dan melihat adiknya menangis segukan.

"Anisa, kamu kok nangis? Ada apa?" Anya memeluk Anisa spontan. Bukankah tadi adiknya sudah pulang seorang diri, tapi ternyata Anisa menunggu di depan gerbang.

"Kak, hiks … ibu Kak, ibu sudah meninggal. Mereka semua pembohong, uang yang mereka janjikan tidak pernah ada." Anya terpaku mendengar hal, lima tahun dia bertahan seperti sampah di rumah ini tapi nyatanya dia tertipu, pernikahan sepuluh juta dollar tidak pernah ada. Anya tampak marah, bagaimana mungkin ibunya tidak pernah dibawa berobat. Apa maksud Raka membohonginya seperti ini? Dia tidak akan tinggal diam saja.

"Kak Anya, kenapa diam? Ayo Kak kita ke rumah sakit." Anisa mengguncang tubuh Anya. Wanita itu terduduk, dia menangis histeris membayangkan penderitaan adik dan ibunya.

"Kapan ibu meninggalnya, Nis?"

"Tadi malam Kak, aku udah hubungi Kakak tapi sama sekali tidak diangkat." Anya bahkan tidak tahu jika Anisa meneleponnya. Rasa sesak melayar di dadanya.

Anya dan Anisa berlari segera mencari taxi ke rumah sakit. Dia memang orang miskin, tapi bukan berarti mereka bisa seenaknya dengan Anya dan keluarganya.

Ejekan, hinaan, teriakan seakan terngiang di telinganya. Suara keras ibu mertuanya kini membuatnya sangat marah, tapi bukan itu yang harus Anya pikirkan saat ini.

Anya dan Anisa baru saja sampai ke rumah sakit, keduanya berlari cepat menuju ruang jenazah.

Melihat mayat ibunya Anya histeris, dia semakin marah pada keluarga suaminya. Mentang-mentang dia orang kecil mereka bisa menginjaknya, ternyata semua orang kaya sama saja.

Anya terlahir dari keluarga luar biasa, ayahnya seorang milyader, tapi ayahnya itu selingkuh dengan sekretarisnya. Dari situ kebencian Anya kepada orang kaya berawal, tambah lagi kebohongan keluarga Raka, kalau bukan terpaksa mana mau Anya menikah dengan Raka.

"Ibu … hiks, maafkan Anya gak bisa merawat ibu selama lima tahun ini." Anya memeluk erat dengan rasa sesal, dia pikir selama ini keluarga suaminya telah memberikan yang mereka janjikan, tapi nyatanya mereka semua pembohong sama saja seperti ayahnya.

"Kak, ibu meminta kakak mencari ayah." Anya tercenung. Mencari ayah? Tidak! Anya tidak sudi, dia masih sangat kecil saat ibunya berpisah dengan sang ayah. Namun sampai detik ini Anya tidak pernah lupa dengan muka ayahnya yang bajingan itu, bahkan masih terngiang di telinga Anya saat ayahnya kaya raya mengusir mereka, padahal saat itu ibunya tengah hamilkan Anisa.

"Kakak gak mau bertemu dia!"

"Tapi ini wasiat dari ibu, Kak." Anisa berusaha menyakinkan Anya agar mencari ayah mereka.

Anya tertunduk, dia tak menggubris kata-kata Anisa. Ia malah pergi untuk mengurus jenazah ibunya, dan dia ingin besok pagi ibunya sudah bisa dimakamkan. Anya tidak tahu akan dicari atau tidak dengan Monic, tapi jelas saat ini dia ingin mengantar tempat peristirahat terakhir ibunya.

Pernikahan Sepuluh Juta DollarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang