"Ametta!"
Metta yang sedang berbincang dengan salah seorang rekannya jadi menoleh, matanya mengerjap beberapa kali mencoba melihat siapa yang memanggilnya barusan.
"Eh, Kak Alice? Wah, congrats!" seru Metta pada Alice yang kini berdiri di sebelahnya, "Selamat bergabung, hehehehe."
Alice tersenyum lebar, "Makasih ya. Berkat kamu juga aku bisa diterima disini,"
"Sama-sama, Kak."
"Met, kesini dulu sebentar!"
Metta melengos mendengar Viera memanggilnya, "Tolong ganti nama panggilan gue, please, jangan 'Met' gitu!"
"Ya, nama lo kan Ametta! Banyak mau deh, cepetan sini!"
"Sabar!"
Metta segera menghampiri Viera yang sedari tadi sibuk dengan ponsel di tangannya. Gadis itu melengos lelah saat melihat Viera menerima telepon lebih dulu, mau tak mau jadi harus menunggu. Ia melipat tangan di dada, kini memperhatikan Alice yang sedang menyapa ramah staf dan pekerja lain disana. Metta tersenyum kecil, merasa senang mendapat satu teman baru di tempat kerjanya.
•••
"Tunggu sebentar ya, Koh. Bentar doang kok, cuma nganterin tugas doang."
Metta turun dari mobil meninggalkan Arjuna sendirian di parkiran fakultas. Gadis itu membenarkan letak tali tote bag dibahunya kemudian mengaca pada layar ponsel, memastikan penampilannya rapi.
Ia melangkah terburu-buru takut kena marah dosen. Metta merutuki dirinya sendiri, "Kenapa gue bisa lupa sih?!" lantas mengumpati high heels nya yang tidak bisa diajak kerja sama di saat-saat seperti ini.
Sampai di depan ruang dosen, Metta ngos-ngosan, berusaha mengatur nafasnya sambil memegangi lutut. Sial seribu sial, dosen yang ia cari malah tidak ada di ruangannya.
"Anjir banget," umpat Metta menjambak rambutnya sendiri, "Gue buru-buru kesini tapi beliau malah nggak ada!?" cerocosnya membalikkan badan kembali berjalan menelusuri koridor.
"Maksud lo apa anjing bertingkah kayak gitu hah?!"
Langkah Metta jadi terhenti mendengar suara tersebut. Kepalanya menoleh kanan-kiri mencari sumber suara. Ia merapat ke dinding, berhasil menemukan dua orang cowok yang sedang berdebat di pojok belakang gedung sambil menarik kerah baju satu sama lain.
"Gue udah bilang baik-baik ke lo. Tapi apa balasannya?" si kemeja merah mendesis, "Lo malah nggak tahu diri. Kalau lo mau nolak, nggak gini caranya!"
Brak!
"Sial." Metta tak sengaja menyenggol balok kayu yang ada disana sampai jatuh. Gadis itu langsung panik ketika dua cowok itu menoleh bersamaan ke arahnya. Membuat Metta yang tadinya mengintip jadi jongkok dengan mulut komat-kamit membaca doa.
"Siapa disana!?"
Metta yakin dua orang itu adalah kakak tingkatnya. Baru saja berdiri ingin kabur, tangan Metta ditarik seseorang masuk ke dalam salah satu ruangan yang ada disana. Orang itu menutup cepat-cepat, menarik Metta untuk bersembunyi dibalik rak buku.
Hening selama beberapa menit.
Setelah memastikan dua orang tadi tidak mencarinya, Metta menoleh ke belakang. Mendapati seorang lelaki tampan yang tadi menarik lengannya tiba-tiba.
"Eh, sorry." cowok itu melepas genggamannya pada tangan Metta, "Itu, tadi... kalau aja lo nggak gue tarik, pasti lo kena."
Metta mengerutkan kening, siapa cowok ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Twenty-Twenty
Fanfiction[ ON-GOING ] Ametta Priscilla terus di paksa menikah oleh kakeknya sendiri, padahal usianya baru menginjak kepala dua. Syarat yang di berikan sang kakek hanya satu, lelaki yang akan menikahi Ametta harus berdarah chinese dan satu keyakinan dengannya...