Setelah urusannya dengan pendatang baru selesai, Tomoya segera menuju dapur, tangannya terjulur mengambil keranjang yang terbuat dari anyaman rotan.
Tomoya tidak berbohong bahwa ia memiliki pekerjaan, bukannya tidak ingin menolong Mao tapi tidak pula menampik bahwa Tomoya bersyukur mendapat alasan untuk sejenak menghindari pemuda magenta yang menampilkan jidatnya itu.
Netra emas pucatnya menyipit tatkala dia membuka pintu. Cerah, cuaca begitu sempurna untuk keluar berbelanja. "Benar-benar manjur." bibir kecilnya berucap dengan senyum yang agak dipaksakan.
"Baiklah, ayo pergi." Tomoya berjalan membelah hutan dengan tas keranjang yang berayun-ayun.
÷×÷
"Bu, tolong apelnya enam buah."
"Baik."
Wanita berumur 40-an itu tergopoh mengambil pesanan Tomoya. Memilih apel terbaik berwarna merah menggoda dengan cekatan.
"Terima kasih." ucap Tomoya sambil memberikan beberapa koin.
Wanita itu tersenyum lebar, "Terima kasih kembali." setelahnya kembali melayani pelanggan yang lain.
Tomoya berjalan menjauh, kemudian berhenti tepat dibawah pohon sejenak. Matanya mengarah keisi dari keranjang, "Sayuran, lauk, roti, selai dan terakhir buah, yosh sudah lengkap. Tinggal pulang saja ya."
Matahari begitu menyengat, siang ini pasar menjadi ramai lagi berkat berhentinya hujan yang terus turun dari kemarin. Air menggenang bekas hujan tadi pun masih terlihat tapi tidak menghambat orang-orang untuk beraktifitas. Selebihnya mereka sangat bersemangat, dengan senyuman yang bercampur dengan peluh keringat.
Tomoya masih diam tak beranjak. Matanya kini memandang lalu lalang didepannya. Dia ingin pulang tapi juga tidak. Kalau boleh jujur Tomoya tidak suka dengan keramaian dan bising.
"Tomoya, kau jadi tidak keren." menghela nafas akhirnya dia berjalan keluar dari area pasar. Langkahnya kecil tapi begitu lincah. Usai didepan pohon besar, pemuda mungil itu malah mengambil jalan yang melawan arus dari rumah kediaman tuannya.
Sambil bersenandung langkahnya mantap tidak terhenti seakan bahwa dia sama sekali tidak salah jalan.
Sampai telinga mendengar gemericik air, Tomoya kemudian menghentikan langkah. Memandang puas apa yang berada didepannya saat ini. Air terjun dengan tiga anak, airnya berwarna biru dengan dominan hijau. Begitu jernih bahkan Tomoya dapat melihat pantulan dirinya tanpa hambatan.
"Sudah cukup lama tidak kemari," Katanya sambil memejamkan mata. "-pilihan yang tepat untuk singgah ditempat ini."
Tomoya merasa damai dan tenang. Netranya masih tertutup rapat sampai rungunya menangkap suara riuh air yang saling bersinggungan. Terdengar seperti ada seseorang yang berenang. Seketika Tomoya terbelalak kaget, dengan itu pula pemuda mungil menangkap pelaku dari keterkejutannya.
"Tunggu, apa? Apa yang kau lakukan disini?!" berteriak Tomoya berjalan mendekat dengan hentakan kaki penuh amarah kearah pelaku yang kini memasang tampang polos.
"Oh, halo kelinci kecil." balas pemuda yang tengah berendam dengan senyuman ramah. Sama sekali tidak terintimidasi dengan raut wajah Tomoya yang sekarang terlihat mengerikan.
"Jawab pertanyaanku!" Masih dengan nada tingginya Tomoya berkata sambil menunjuk-nunjuk pemuda itu.
"Tidak ada. Aku hanya ingin merilekskan tubuhku yang cantik ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Protector & his Assistant; looking for trouble
Fantasy| on hold | Isara Mao, entah beruntung atau sial bertemu sesosok vampire dan ditawari sebuah pekerjaan. Tapi, hey, menjadi asisten vampire tidak terlalu buruk bukan?