3. petrichor

108 17 5
                                    

"Mao-kun, untuk barang berikutnya tolong dikirim ke rumah Ishida-san ya."

Mao mengiyakan dengan senyum, "baik Wataru-san."

Pemuda bernama Wataru membalas senyum Mao, dirasanya sudah paham dengan perintahnya dia kemudian meninggalkan Mao dengan satu buah kardus berukuran sedang yang terbungkus dengan rapi.

Tangan Mao menggapai kardus tersebut, lumayan berat tapi tidak masalah. Dirinya setelah itu mulai melangkahkan kaki dari rumah Wataru menuju alamat rumah Ishida-san.

"Baunya tidak terlalu tajam tapi aku yakin ini pasti jeruk." kata Mao sambil menghirup bau dari kardus yang saat ini tengah dia peluk.

Sampainya dialamat yang dituju, dia mempercepat langkahnya. Matanya menangkap seorang pemuda berdiri dihalaman rumah seperti sedang menunggu kedatangan paketnya.

"Halo, Isara-kun." sapanya ramah. Lelaki berumur 40 tahunan itu terlihat senang menyambutnya.

Pemuda magenta tentu saja tersenyum sumringah, "Halo Ishida-san, paket telah datang." Mao berucap dengan diakhiri tawa kecil.

Ishida ikut tertawa kemudian mempersilahkan Mao masuk kerumahnya untuk menaruh kardus itu.

"Baiklah, aku rasa aku harus kembali."

Mendengar perkataan Mao, lelaki tua itu menoleh, menampilkan senyum menggoda, "oh, tentu saja, Isara-kun pasti sangat sibuk sekali."

Mao gelagapan, Ishida yang melihat reaksi yang termuda puas tertawa lebar.

"Hati-hati dijalan ya Isara-kun."

Setelah menganggukkan kepalanya dan pamit, Mao berjalan kecil keluar dari pekarangan rumah Ishida.

Netranya menerawang menatap langit yang mendung. Cuacanya tidak bagus, hari ini lebih dingin daripada biasanya. Banyak awan menggumpal seolah tidak mengizinkan matahari memancarkan sinarnya kebumi.

Dia kembali teringat akan kejadian tiga hari lalu. Dimana dia dibawa oleh pemuda merah kekediamannya dan berakhir diusir oleh pemuda mungil dengan segala sikap dinginnya.

Mao tentu merasa ada yang ganjil. Pemuda mungil itu menatapnya seakan-akan dia adalah penyebab tuannya sakit. Menghela nafas panjang Mao buru-buru melarikan diri dari tetesan air yang semakin lama semakin menghujaninya.

Berlari dia menuju kerumah Wataru. Pemuda yang lebih tinggi menyambutnya dengan wajah panik, menyuruh Mao untuk duduk sementara dia pergi kekamar mencari handuk.

"Mao-kun, ini."

Senyum Mao tercipta kemudian mengambil handuk bermotif kelinci yang disodorkan oleh Wataru.

"Ini tanda bukti penerimanya, Wataru-san." kata Mao sambil menyerahkan sebuah slip dari kantong celananya. Wataru mengambil slip itu dengan senyuman lebar.

"Terima kasih, Mao-kun. Ah, ngomong-ngomong apa kau tidak merasa akhir-akhir ini selalu mendung dan berawan?" Lelaki dengan rambut biru terurai panjang itu menatap langit yang sekarang sedang menumpahkan air matanya.

"Yah, aku merasakan itu juga Wataru-san." ujar pemuda magenta yang tengah sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk.

"Hmm aneh. Padahal kemarin panasnya minta ampun. Cuacanya cepat berganti ya, Mao-kun kamu harus menjaga baik-baik kesehatanmu."

"Iya, Wataru-san juga."

Setelah percakapan itu keduanya kembali memandang langit, setelahnya Wataru pamit kedapur berinisiatif untuk membut teh.

Tak ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Sudah tiga hari ini mendadak desa yang ditempati Mao diselubungi awan hitam. Padahal sekarang waktunya musim panas berlangsung. Mao memejamkan mata merasakan hawa dingin yang sayup-sayup menerpa dirinya.

÷×÷

Esokan harinya Mao tidak mendapati bahwa cuaca akan berganti dengan matahari yang bersinar terang. Sebaliknya awan gelap itu tampak awet bertengger dilangit. Hujan rintik-rintik menemani dari semalam seolah enggan berhenti.

Hari ini terpaksa Wataru meliburkan pekerjaan pengantaran paket, tidak mau mengambil resiko paketnya akan basah terkena air.

Dan disinilah Mao, setelah memutuskan dengan mantap, tangannya mengambil payung lantas melangkahkan kaki menjauh dari rumahnya yang hangat.

Baru saja beberapa langkah Mao sudah menggigil diterpa angin, hawa dingin langsung menyergap tubuhnya. Dia mengencangkan syal merah yang melilit dilehernya.

Jalanan tampak sepi, tentu saja dicuaca sedingin ini orang-orang akan memilih dirumah saja dan menghangatkan diri.

Namun lain halnya dengan Mao, dirinya kembali termenung memikirkan bahwa apakah ini keputusan yang tepat tetapi langkahnya sungkan untuk berbalik menuju kekediamannya.

Tanpa sadar pemuda magenta itu sudah berada tepat didepan pagar pembatas dengan pohon besar yang menjuntai tinggi. Tempat dirinya janjian bertemu dengan Ritsu dulu.

"Ah, apa yang aku pikirkan-" payungnya dia genggam kuat. Mao membiarkan emerald nya menelisik hutan didalam sana. tangannya mengepal berharap ada kehangatan yang akan muncul karena itu.

Ragu terbesit tentu saja. Namun, Mao ingin melihat
dan memastikan bahwa pemuda merah itu baik-baik saja. Mao kembali teringat akan pemuda mungil yang mengeluarkan aura mencekam untuknya, ah pasti dia akan menatap tajam Mao lagi.

Mao menghela nafas panjang, berusaha menghilangkan gugupnya. "Dingin." ujarnya.

Angin kembali menerpa, dengan spontan Mao memejamkan mata tapi dia tidak dapat membantah bahwa rintik-rintik hujan membuatnya tenang.

"Tentu saja dingin, apa yang kau harapkan dengan cuaca seperti ini?"

Rasa gugup seketika berubah menjadi lega. Mao tidak tau pasti kenapa, akan tetapi ketika netranya menangkap sosok berkimono hitam itu dan rungunya mendengar suara dingin dengan nada rendahnya yang khas. Perasaannya lega tak terpungkiri.

Iya, dia tidak asing dengan itu, sebelum tiga hari memisahkan eksestensi wujudnya.

"Ya, kau benar." tergelak Mao menjawab, dia terkejut tentu saja. Ritsu hanya diam memandang lekat wajah Mao yang tertawa kecil seakan-akan pemuda magenta akan hilang jika ruby nya teralihkan oleh hal lain barang sedikit pun.

Mao balik menatapnya, tawa mereda tergantikan dengan senyum manis. Pemuda merah menjemputnya dua kali ditempat yang sama dan dengan cara yang sama.

TBC

Akhirnya setelah sekian lama bisa updateಥ‿ಥ
oh iya, cerita ini latarnya jaman dulu(?) ya. Pokoknya jaman dimana teknologi belum seperti jaman kita saat ini.
terakhir vote dan komen jangan lupa.
Sore jaa, mata ne.

Sat, March 19
Central Sulawesi

The Protector & his Assistant; looking for troubleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang