4. spatter

94 14 5
                                    

Hawa dingin menemani, angin berhembus perlahan, juga rintik hujan yang masih membasahi bumi. Bedanya sekarang Mao bersama dengan Ritsu.

Setelah pertemuan mengejutkan tadi tanpa basa-basi Ritsu kembali mengajak Mao untuk ikut dengannya.

Pepohonan lebat yang dia lewati masih sama seperti tiga hari yang lalu, namun saat ini mereka tersiram oleh air hujan serta jalanan yang becek membuat Mao harus ekstra hati-hati dalam melangkah.

Netra Mao menangkap siluet rumah megah, dia senang melihatnya entah kenapa. Tapi, perasaannya was-was saat jarak mereka semakin dekat dengan kediaman Ritsu, takut akan hal atau lebih tepatnya seseorang yang berada didalamnya.

Ritsu adalah Ritsu, pemuda itu seperti mencintai keheningan. Mao sebenarnya orang yang banyak bicara tapi dia enggan untuk membuka mulutnya saat ini karna diamnya Ritsu seperti tidak ingin diganggu gugat.

"Masuklah." suara dalam khasnya berkumandang. Saat Mao menyadari bahwa Ritsu sudah didalam rumahnya sembari membuka pintu.

Alis Ritsu naik sebelah, heran melihat tingkah surai magenta didepannya yang tak kunjung melangkahkan kaki.

"Kenapa?" tanya Ritsu.

"Ah.. itu.. tidak, bukan apa-apa." Mao mengutuk dirinya, dia pasti terlihat aneh saat ini. Tapi tubuhnya tidak mau diajak kompromi, kakinya seakan menolak untuk masuk kerumah itu.

Mao menggelengkan kepalanya keras, berusaha mengusir rasa tak enak yang hinggap sejak tadi. Menghela nafas dalam, diikuti oleh Ritsu yang sedari tadi menontonnya, dia kemudian memberanikan diri. Selangkah dan-

"Eh? Ritsu-sama sudah pulang, kenapa berdiri didepan pintu?"

Hancur sudah keberanian Mao, tungkainya lemas tidak jadi melangkah masuk. Mendengar suara itu dan melihat perawakan kecil itu, Mao seakan ingin putar balik berlari menerobos hutan.

Pemuda kimono didepannya masih tetap sama, diam menahan cengiran sembari menatap Mao yang menurutnya seperti tokoh diopera sabun.

Tak ada pergerakan dari surai magenta, "Lah, ada Isara-san ternyata. Ayo masuk jangan didepan pintu, nanti menghalangi jalan. Ritsu-sama dengan Isara-san duduk diruang tamu, Tomo akan bikin teh." Ucapan pemuda kecil itu seketika membuat Mao tersentak, tak menghiraukan sindiran secara halus yang dia berikan. Mao terkejut memandang Tomoya, dan lebih anehnya lagi Tomoya tersenyum kepadanya kemudian berjalan berbalik menuju dapur.

Belum hilang rasa terkejutnya, Ritsu sudah duduk diruang tamu. "Apa yang kau lakukan? masuk."

Mao mengangguk, dengan cepat mengikuti Ritsu. Tak lama setelahnya Tomoya datang dengan nampan teh dan kue kering. Dia menaruhnya dimeja lalu undur diri. Mao sama sekali tak membuat kontak mata dengan Tomoya, dia tidak ingin cari masalah.

"Kapan kau mulai bisa bekerja Isara?" Ucap Ritsu, lalu menyesap tehnya. Mengiraukan sikap canggung Mao terhadap salah satu orang dirumahnya.

"Aku bisa senin sampai jumat." Jawab Mao.

"Bagaimana dengan pengantaran paketmu?"

"Pengantaran paket biasa selesai jam 9, paling lama jam 10 pagi. Kalau sampai sore itu karena aku senggang dan tidak punya- tunggu, darimana kau tau tentang hal itu?" Mao bertanya, matanya menatap langsung mata kelam milik Ritsu.

Ritsu tetap tenang, tak peduli dengan tatapan tajam dari Mao, "apa itu penting?"

Mao rasanya ingin berteriak 'tentu saja!' tapi ditelannya bulat-bulat perkataan itu dihatinya. Cukup membayangkan saja, tidak perlu merealisasikan. Tangannya mengambil cangkir teh, lalu menyesapnya perlahan berharap hal itu dapat mengembalikan fokus pikirannya yang sekarang sedang tak karuan.

The Protector & his Assistant; looking for troubleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang