Siang hari itu terik sekali, Mao beberapa kali mengelap peluh keringatnya. Posisinya saat ini berada dijalan setapak tepat menuju kehutan.
Sedang apa dia? Ah, dia sedang menunggu seseorang, pastinya kalian tau siapa orang tersebut.
Setelah deklarasi dirinya menjadi seorang asisten oleh pemuda merah yang dikenalnya belum lama ini. Pemuda itu menyuruhnya untuk datang kembali kehutan dua hari berikutnya.
Dia juga menyuruh Mao untuk jangan langsung masuk kehutan dan menunggu si pemuda menjemputnya.
Mao bergerak gelisah, sudah dua puluh menit lewat dari waktu yang dijanjikan tapi batang hidung si merah belum terlihat sama sekali.
Sebenarnya Mao agak was-was dengan pekerjaan dadakannya, dia bahkan tidak mengetahui nama dari bossnya saat ini. Namun Mao menolak untuk pergi atau mengabaikan si pemuda karena dia sendiri yang menawarkan bantuan. Dia tidak sepengecut itu.
"Hei."
Suara dingin itu membuat Mao yang sedaritadi bergelut dengan pikirannya terkejut.
Pemuda merah itu ada disana, dibalik pohon tepat didepan pagar yang membatasi jalan setapak dengan hutan.
"Ikuti aku." Sambungnya lagi.
Mao menganguk dan dengan segera mengekori si pemuda merah.
Netranya melihat pemuda itu memakai payung, tampak keringat bercucuran disela rambutnya yang hitam legam. Kondisinya sama dengan Mao yang tak jauh beda kepanasan akan matahari.
Mao terus mengikuti si merah, tak ada percakapan yang tercipta diantara mereka. Setelah cukup jauh melangkah, akhirnya si pemuda berhenti.
Mengerjab kagum, Mao memandang rumah besar dihadapannya. Bahkan rumah ini terlihat seperti mansion dengan gaya modern elegan. Banyak bunga disekeliling rumah tersebut, serta tanaman merambat yang menjuntai indah disela-sela dinding rumah.
Pemuda merah membuka pintu, tak sadar akan kekaguman surai magenta disampingnya yang bahkan terlihat lebih puas setelah mereka melangkah masuk kedalam rumah.
Lukisan-lukisan kuno disetiap dinding, interior gaya traditional local berwarna merah putih bercampur hitam, Mao pastinya tau bahwa bossnya merupakan seorang jutawan atau bahkan lebih.
"RITSU-SAMAAA!"
Teriakan itu melengking nyaring. Si merah bahkan sampai menutup telinganya.
Seorang lelaki mungil muncul dari arah tangga, berlari menggapai pemuda merah.
"Ritsu-sama! Ritsu-sama! Akhirnya kau datang. Ritsu-sama lama sekali Tomo khawatir. Ritsu-sama tidak apa-apakan? Ritsu-sama ada yang sakit? Tidak terluka kan?" Lelaki itu melontarkan pertanyaan bertubi-tubi sambil memeriksa kondisi si merah yang menatapnya malas.
"Tomoya berisik."
Mao terdiam melihat interaksi lucu dari kedua pemuda dihadapannya. Jangan lupa dia mendapat sebuah info yaitu nama dari si merah.
Tomoya mengembungkan pipinya, tentu saja tidak terima dengan jawaban Ritsu. Dia menoleh kesamping masternya dan menemukan sosok baru yang tak diketahui.
"Siapa ini?" Bertanya, Tomoya menatap Mao dengan pandangan tidak suka. Surai merah muda mengerjab kaget dengan perlakuan dari pemuda yang lebih kecil darinya.
"Bukankah aku sudah bilang kemarin. Dia asistenku." Ritsu menjawab cepat tapi raut wajah Tomoya semakin keruh.
"Kenapa harus rekrut asisten lagi? Apa Tomo saja tidak cukup?!" Tomoya berucap sedikit menaikan nada bicaranya, tapi Ritsu tak keberatan dengan itu.
"Tomoya, kita sudah bicarakan hal ini juga kemarin. Jadi tolong diamlah." Dengan suaranya yang tenang Ritsu sekali lagi menjawab.
"Tidak. Tomo masih tidak teri-"
Brukk
Ucapan Tomoya terhenti ketika Ritsu jatuh kelantai secara tiba-tiba.
"Ritsu-sama!" Tomoya berteriak panik. Mao yang sedari tadi menonton mereka mengambil langkah cepat, dia menggendong Ritsu walaupun sedikit kesulitan.
"Kamarnya, tolong tunjukkan." Netra emeraldnya menatap serius Tomoya. Pemuda kecil itu mendengus kesal tapi sekarang bukan waktu yang tepat. Tomoya tau itu, kakinya melangkah menuju kelantai dua dengan diikuti oleh Mao.
Pemuda kecil itu menyuruh Mao memasuki pintu yang satu-satunya berwarna hitam legam. Mao segera menaruh dengan hati-hati Ritsu dikasurnya. Banyak peluh menetes diwajah tampannya.
Pintu kembali terbuka, terlihat Tomoya yang membawa air serta kompresan. Tergesa dia duduk disamping kasur dan dengan telaten membersihkan keringat dari Ritsu.
"Hah, Ritsu-sama terlalu memaksakan diri. Sekarang tolong istirahat." Raut khawatir tercetak jelas diwajah Tomoya.
Setelah mengurus masternya. Tomoya melirik kearah Mao yang beberapa detik kemudian menganguk mengerti. Mereka keluar dari kamar, menuju lantai satu.
Tomoya menyuruh Mao untuk duduk, sementara dia pergi menyiapkan teh didapur.
Mao menghela nafas menundukan kepala. Dia sedari dijalan menuju kemari memperhatikan bahwa Ritsu memiliki wajah yang lebih pucat daripada biasanya. Bodoh, dia pikir itu hanya perasaannya saja.
Tenggelam dengan pikirannya, Mao tidak sadar bahwa Tomoya telah duduk menemaninya. Wajahnya masih tak bersahabat, menunjukan bahwa dia tidak menyukai keberadaan Mao.
"Kau." Pemuda mungil memulai. Mao yang menunduk lekas mendongkakan kepalanya.
"Maaf aku belum memperkenalkan diri. Namaku Isara Mao." Mao menjulurkan tangannya, senyum ramah terpatri diparasnya.
Tomoya hanya memandangnya dingin tanpa ada niatan untuk membalas uluran tangan itu. Sebaliknya Tomoya menatap remeh Mao.
"Kau. Saya tidak percaya padamu."
Luntur sudah senyum Mao. Tidak mengerti, dia sama sekali tidak mengerti dengan keadaan ini.
TBC
Halo, terima kasih sudah menyempatkan baca dan vote. Saya sangat mengapresiasinya.
Work ini sudah lama saya tidak sentuh mohon maaf untuk pembaca yang menantikannya sebab saya, jujur sedang sibuk-sibuknya di RL hehehe.
Saya hanya bisa katakan bahwa update tidak dapat diprediksi. Tapi yakin satu yang membuat saya semangat adalah vote dan comment dari teman-teman.
Terima kasih! Sampai berjumpa di chapter selanjutnya.Mon, Feb 7
Central Sulawesi
KAMU SEDANG MEMBACA
The Protector & his Assistant; looking for trouble
Fantasi| on hold | Isara Mao, entah beruntung atau sial bertemu sesosok vampire dan ditawari sebuah pekerjaan. Tapi, hey, menjadi asisten vampire tidak terlalu buruk bukan?