bab 2

229 17 0
                                    

"Kamu sudah bawa apa yang aku katakan semalam?" tanya Santo kepada Hendra. 

"Udah, nih," jawab Hendra sambil menenteng kantung plastik di tangan kirinya. 

"Masuk dulu, ayo," ajak Santo. 

"Gak usah deh, kita langsung aja, rumahnya jauh gak dari sini?" 

"Gak kok, di kampung sebelah, ayo kuantarkan." 

Hendra mengangguk mengiyakan. Malam ini, dia berniat datang ke orang pintar yang tempo hari dibicarakan Santo saat mereka sedang nongkrong. Ya, Hendra sudah membulatkan tekadnya untuk mendapatkan hati Yunita dengan cara ini. Dia berharap kisahnya akan berakhir sama seperti Santo dan istrinya. 

Dengan mengendarai motor milik Hendra, keduanya berboncangan dengan Santo yang menyetir. Tak membutuhkan waktu lama, hanya beberapa menit menaiki motor, mereka sampai di sebuah rumah sederhana dan terkesan kuno. 

"Ini rumahnya?" tanya Hendra sangsi. 

"Iya, ayo masuk." Santo mendahului langkah untuk memasuki rumah yang terlihat sepi itu dan Hendra pun mengikutinya dari belalang. 

"Permisi, Mbah," ucap Santo sambil memasuki rumah. 

"Silakan masuk, cah bagus,"jawab seorang kakek tua yang tengah duduk di kursi goyang di ruang tamu itu dengan menggunakan logat dan bahasa Jawa. 

"Anu, Mbah, ini saya datang ke sini mau nganterin temen, dia mau ada perlu sama Mbah," ucap Santo membuka obrolon langsung menjurus pada intinya.

Hendra menyenggol-nyengggolkan lengannya pada lengan Santo, memberi tanda supaya Santo yang menyampaikan maksud kedatangannya. 

"Udah, kamu ngomong aja sendiri," bisik Santo pelan menjawab senggolan lengan Hendra. 

"Ini, Mbah, saya mau minta tolong ... saya suka sama seseorang, Mbah, tapi, dia kayaknya gak mau sama saya," ucap Hendra sambil sesekali melihat reaksi kakek yang sudah sepuh itu. 

"Siapa namanya?" jawab si kakek langsung.

"Yunita, Mbah." 

***

"Kita mau ke mana?" tanya Yunita sebelum naik ke motor milik Putra. 

"Terserah kamu," jawab Putra singkat.

"Jalan-jalan di mall kayak biasanya ya,"  pinta Yunita dengan nada yang begitu manja pada sang kekasih. 

"Iya, ayo." 

Dengan hati gembira Yunita meniki boncengan motor kekasihnya. Senyum di bibirnya tak pernah luntur sepanjang perjalanan menuju mall yang sering mereka datangi. 

Suasana malam yang cerah dan jalan raya yang temaram menjadi tempat teromantis menurut Yunita untuk menghabiskan malam minggu bersama sang kekasih. 

Seperti sebelum-sebelumnya. Sudah menjadi agenda wajib bagi Yunita dan Putra selalu menghabiskan malam minggu bersama sejak mereka resmi berpacaran. Namun, akhir-akhir ini setelah mereka lulus dan Putra memilih bekerja ketimbang kuliah, Yunita merasa Putra tak lagi fokus padanya. 

"Udah lama banget kita gak malam mingguan begini, kamu terlalu sibuk sama kerjaan kamu," ucap Yunita saat mereka tengah berjalan santai di antara pengunjung mall lainnya. 

"Maaf, kamu tahu kan aku baru mulai bekerja. Aku harap kamu mengerti kondisi aku sekarang," kata Putra tak ingin berdebat dengan sang kekasih. 

Sebenarnya Putra itu sangat baik dan penyayang, orangnya tidak banyak bicara, tapi, dia sangat mencintai Yunita lebih dari apapun. 

"Iya aku tahu, emang sih aku pengangguran, jadi kadang gabut kan kalau gak ada kamu yang nemenin. chatting-an aja kan kadang juga susah." 

"Iya, maaf ya," ucap Putra sambil mengusap pucuk kepala Yunita. 

Orang-orang yang melihat keduanya pasti merasa iri, karena terlihat bergitu sweet dan menggemaskan. Namun, mereka sama sekali tidak menyadari jika sesekali menjadi pusati perhatian  pengunjung mall yang berpapasan dengan mereka. 

"Iya dimaafin, tapi, kamu jangan cuek dong kalau balas pesan aku. Kan aku jadi gak mood gitu kalau kamu chat-nya cuek." Di malam itu, Yunita mencurahkan segala perasaan yang beberapa waktu ini dia rasakan untuk sang pacar. Dengan sangat santai Putra menanggapinya, dna sesekali menggumankan kata maaf untuk menyenangkan hati Yunita. 

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Mereka nyaris mengitari setiap sudut mall yang luas itu. pantas saja Yunita merasa kakinya mulai capek berjalan. Dia melihat ada bangku kosong dan mengajak Putra istirahat sejenak di sana sambil menikmati beberapa jajanan yang sudah mereka beli. 

"Setelah ini aku antar kamu pulang ya, udah hampir jam sembilan, nanti orang tua kamu nyariin," kata Putra. 

"Iya, tapi, nanti mampir ke tukang martabak dulu ya, tadi ponakan aku nitip martabak manis."

*** 

"Nanti, capurkan ini ke minumannya, setelah  itu, dia pasti akan terus mencari kamu dan gak mau pisah sama kamu," kata si Mbah setelah mendengar permintaan Hendra. Si Mbah itu memberikan sesuatu yang dibungkus dengan kertas koran lusuh. 

"Apa ini, Mbah?" tanya Hendra penasaran. 

"Nanti bukalah setelah sampai rumah. Ingat, berikan secara bertahap padanya, setelah semuanya habis, efeknya akan terlihat." 

"Baik, Mbah, terima kasih banyak, Mbah." Hendra segera memasukkan bungkusan itu ke dalam tas selempang yang dia kenakan. 

"Jangan salah gunakan benda itu. Kalau kamu salah gunakan, kamu sendiri yang akan menanggung akibatnya," pesan si Mbah. 

"I-iya, Mbah, saya janji tidak akan menyalahgunakannya.  Terima kasih banyak udah  membantu saya, Mbah." 

Usai brbasa basi sejenak dan mengucapkan terima kasih, Hendra dan Santo pun pamit meninggalkan rumah mbah dukun. 

"Aku yakin, sekali kamu mencampurkan ramuan itu, wanita yang kamu mau itu pasti langsnung nempel," ucap Santo meyakinkan Hendra, pasalnya dia pernah melakukannya, jadi sudah tentu tahu khasiat dari ramuan yang diberikan mbah dukun. 

"Besok aku akan segera memberikannya pada Yunita. San, makasih banyak ya, kamu mmang temanku yang terbaik," kata Hendra dengan raut wajahnya yang bahagia. 

"Sama-sama, aku kan juga ingin melihat teman seperjuanganku segera menikah. Teman-teman kita sudah menikah semua, jadi, kamu juga sebaiknya segera menhakhiri masa lajangmu." 

"Ah, kamu ini, mengingatkanku pada masalah itu," keluh Hendra sambil menepuk salah satu pundak Santo yang sedang memboncengnya. 

Setelah mengantarkan Santo kembali pulang, Hendra pun juga segera pulang, dia tidak sabar untuk segera menghubungi Yunita dan melancarkan aksinya. 

Sesampainya di rumah, Hendra mencoba menelepon Yunita, tapi, sampai beberapa kali mencoba panggilannya tidak satu pun yang terjawab. 

"Ah, kenapa dia tidak mengangkat panggilanku? Sial!" gerutu Hendra kesal. 

*** 

"Siapa yang telepon? Kenapa gak diangkat?" tanya Putra heran. Selain itu, raut wajah Yunita juga terlihat ketakutan. 

"Ee, anu, ini ... Rosita yang telepon, ayo kita pualng aja," jawab Yunita membohongi kekasihnya. 

Putra percaya saja, karena memang malam sudah larut, pasti orang tua Yunita khawatir anak gadis mereka tidak kunjung pulang. 

"Ya sudah, ayo kita pulang." Putra berdiri dari duduknya dan mengulurkan tangan. Dengan senang hati Yunita menyambut uluran tangan itu. 

'Semoga dia tidak menghubungiku lagi,' ucap Yunita dalam hati. 

Orang yang menelepon Yunita tak lain adalah Hendra, bukan kakaknya seperti yang dibilang pada Putra. Sementara itu, Hendra masih terus mencoba menghubungi Yuntia, tak hanya dengan telepon, dia juga mengirimkan pesan dan mengatakan akan menjemput Yunita besok sore. 

"Besok aku harus bisa ketemu dengannya dan memberikan ramuan cinta ini pada Yunita," guman Hendra bertekad kuat. 

*** 

Menikah karena guna-guna (Magic Love)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang