21 :: Tentang Mereka

126 33 3
                                    

Bastian mematung di depan pusara papanya. Dia tak menangis, tidak pula mengatakan apapun. Dia hanya memandang kosong gundukan tanah penuh bunga itu.

Belum ada 24 jam sejak dia membuka mata, tapi sudah ada begitu banyak kejadian yang mengejutkan.

Apakah realita biasanya memang sekejam ini?

Bastian bergelut lama dengan pikirannya. Hingga langit yang semula cerah, perlahan berubah kelabu.

“Bas, sebaiknya kita pulang sekarang sebelum hujan.” Suara Dianti menginterupsinya, tapi Bastian tetap bergeming.

“Bas?”

“Mbak Dianti pulang duluan aja!” sela Bastian.

“Tapi—”

“Aku nggak apa-apa.” Dianti menghela napas. Apanya yang tidak apa-apa? Bastian bahkan belum bisa berjalan sendiri.

“Mbak tunggu di mobil.” Tak mau berdebat, Dianti melangkah pergi meninggalkan Bastian di pemakaman. Pikirnya, mungkin Bastian butuh waktu untuk sendiri.

Seperginya Dianti, Bastian kembali merenung. Ada banyak pertanyaan dalam kepalanya, tapi ia tak tahu bagaimana mengurainya dan kepada siapa ia harus bertanya.

“Kenapa Papa tiba-tiba pergi tanpa ngejelasin apa-apa?” Suara Bastian tertelan angin. Perasaannya semakin berkecamuk. Ia tak tahu persis bagaimana harus menyikapi semua ini

Tentang masa lalu Ratu, tentang rahasia papanya dan masalah keluarganya, yang mana dulu yang harus Bastian selesaikan?

Bastian mulai menyesali keputusannya. Harusnya waktu itu dia setuju dengan pendapat Ratu. Harusnya dia menetap saja di dunia mimpi selamanya, toh di sana lebih membahagiakan. Mamanya masih ada, papanya masih bersikap baik, dan yang lebih penting dia bisa menemui Ratu kapanpun dia mau. Kehidupan Ratu juga jauh dari kata menderita.

Bastian sudah salah mengambil keputusan.

Saat titik-titik air mulai berjatuhan, Dianti datang dan segera membawa Bastian pulang dengan kursi rodanya. Bastian tak menolak kali ini, dia pasrah dibawa begitu saja oleh Dianti.

“Untuk sementara, kamu tinggal di tempat Mbak dulu,” jelas Dianti sebelum Bastian bertanya kemana dia akan dibawa.

“Mbak tahu ada banyak hal yang bikin kamu bingung, tapi pertama-tama kamu harus memulihkan diri kamu dulu. Kamu baru aja bangun dari mimpi yang sangat panjang Bas. Harusnya kamu menyelesaikan pemeriksaan dulu dan belum boleh pergi kemanapun.”

Bastian diam tak merespon.

“Besok kita balik ke Lab ya?”

Dianti memarkirkan mobilnya di basement dan membantu Bastian turun dari mobil. Mereka masuk ke apartemen Dianti bersama-sama.

Sampai di dalam, tatapan Bastian langsung tertuju pada sosok perempuan yang sedang duduk menunduk di atas sofa. Ada isakan kecil yang terdengar samar-samar.

“Ratu,” gumam Bastian.

“Mbak masih ada urusan, nggak apa-apa kan kamu ditinggal sama Ratu?” Bastian mengangguk. Sepertinya Dianti memang sengaja membiarkan mereka berdua.

Setelah Dianti pergi, ragu-ragu Bastian menghampiri Ratu yang masih betah menundukkan kepalanya. Bastian terdiam di hadapan gadis itu. Ia bingung bagaimana harus memulai percakapan dengannya.

“Maaf Ratu.” Akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulut Bastian. “Aku minta maaf.”

Ratu mendongkak. Wajahnya basah oleh air mata. “Kenapa kamu minta maaf?”

Make Your Dream Project [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang