untitled part 2

190 35 5
                                    

   
    orang bilang aku tumbuh seperti musim dingin tak berujung. beku dan menusuk.

    memang betul. aku tidak menyangkal apa kata mereka itu. aku menjaga jarak dari semua orang tanpa terkecuali, terlebih tidak mau disentuh.

    tanpa siapapun di sisiku, aku hidup bebas dari beban selama enam belas tahun. di manapun hanya ada aku. rumah, sekolah: hanya aku.

    mama dan papa tinggal di rumah lain yang dekat dengan perusahaan. mereka bukan sosok penyayang, tapi semua yang kuiinginkan diberi. bagiku sudah cukup. lebih baik tanpa kasih daripada kasih yang pura-pura, bukan?

    aku selalu sendiri dan tidak ada yang peduli. masalah hidupku pun jadi sedikit.

    begitulah kehidupanku sebelum kalender bernomor 20 dirobek dari kawanannya. ganti nomor 21 yang bertengger santai selama 24 jam kedepan.

   
    ꒰ 🍞 ꒱ؘ ࿐ ࿔*:・゚

   
    pukul dua belas lebih lima, aku keluar kantor sambil menenteng dompet dan ponsel. niatku naik taksi dan menikmati makan siang di kedai pancake nan jauh di sana.

    kenapa harus jauh?

    bosan bertemu karyawan lain. mereka hanya akan duduk agak jauh, membicarakanku sebentar sambil melempar tatapan menyebalkan, dan makan seolah aku tidak ada.

    aku muak.

    lagipula tidak ada pancake seenak buatan pemilik kedai bulan. aku dibuat jatuh cinta. terlebih tidak banyak yang datang karena letaknya yang masuk gang kecil.

    jaraknya sepuluh menit perjalanan naik taksi. selanjutnya aku hanya perlu melewati jalan berkelok-kelok selama tiga menit dan akan menemukan kedai mungil.

    tidak ada bunyi lonceng ketika pintu kubuka. satu-satunya pelayan di sana yang akan menyapaku dengan sangat ramah.

    "hai, akk. pesan yang biasanya, ya? sebentar, ya. pete masih beli madu di ujung gang," kata porchay.

    omong-omong pete dan porchay itu kakak-adik.

    aku mengangguk dan duduk tanpa membalas keramahan porchay. selama ini ia pun tidak mempermasalahkannya. senyuman di wajahnya sama sekali tidak pudar sekalipun kutanggapi dengan wajah datar.

    tak berselang lama, yang bernama pete masuk ke kedai bulan. di tangannya ada kantung plastik berisi tiga botol madu.

    manusia berwajah elit itu menoleh ke arahku setelah menerima kode dari porchay. lalu ada senyuman yang mengembang indah.

    "akk!" suaranya terlalu keras untuk telingaku. apa yang membuatnya sangat bersemangat?

    tiba-tiba saja ia sudah mendatangiku untuk menyapa. astaga, senyumannya itu sangat menyilaukan.

    "aku mau buat pancake baru. apa kau mau jadi orang pertama yang mencobanya? kujamin tidak akan menyesal!"

    pete sangat percaya diri soal hidangan penutup yang memang jadi keahliannya.

    aku mengangguk tanpa ragu. semua yang ia buat dan hidangkan padaku tidak pernah tidak enak. bahkan membuatku tidak mau makan dessert di tempat lain karena takut rasanya berbeda dari buatan pete.

    "tanpa kacang, ya." hanya itu pesanku. aku alergi kacang. alergi yang parah.

    pemuda itu mengacungkan jempol. "of course! tunggu sebentar, ya. tidak akan lama, kok."

    sebenarnya, aku tidak terlalu mempermasalahkan soal berapa lama pete memasak. lagipula semua pekerjaanku sudah selesai sebelum jam istirahat dan tidak ada pesan berupa revisi atau tambahan kerjaan. aku bisa santai dan kembali kapan saja.

    lima belas menit berlalu. pete muncul dari balik pintu dapur yang dibukakan porchay.

    piring keramik putih itu menjadi wadah bagi dua tumpuk pancake warna cokelat. visualnya sangat cantik dengan berbagai buah beri yang aku suka dan cairan kental keemasan yang kuyakini adalah madu.

    hidangan itu diletakkan di hadapanku dengan bangga oleh pete.

    "semoga kau suka," katanya.

    aku mengambil garpu dan pisau lalu mulai memotong. satu suapan mendarat sempurna di dalam mulut. mataku membulat tak percaya.

    "manis! enak!" aku berseru satu oktaf lebih tinggi dari nada bicaraku yang biasanya.

    mulutku ini tidak pandai memuji. pete sudah tahu. dua kata sederhana dan ekspresiku cukup mewakili segala pujian yang bisa dikatakan pelanggan pada kokinya.

    pete menarik kursi di sebelahku, tapi membeku ketika baru saja ingin mendaratkan pantat.

    "oh, shit. aku hampir lupa ada yang pesan dua puluh pancake untuk nanti sore!" kata pete.

    "siapa yang pesan sebanyak itu?" tanyaku dengan mulut berisi potongan besar stroberi.

    "ada ibu-ibu sosialita yang sering datang kesini. katanya beliau ada acara semacam arisan dan mau teman-temannya mencoba pancake buatanku."

    aku mengangguk-anggukkan kepala.

    "selamat, ya. kalau mereka juga banyak uang dan jadi sering datang, kedai ini akan ramai dan kau akan kaya."

    doaku barusan bagus, kan? seharusnya pete senang, kan? tapi kenapa ia malah menggebrak meja lantas melotot?

    "kedai ini akan tetap sepi! kalau perlu aku akan membuka kedai lain di tengah kota dan porchay yang akan mengelolanya. aku tetap di sini!"

    kepala porchay muncul dari balik meja kasir. dengan tatapan bingung ia menunjuk dirinya sendiri dan bergumam, "hah? aku?"

    "o... oke... jam berapa pesanan pancake-nya harus selesai?"

    pete menengok jam dinding  "tiga."

    lalu aku melakukan gerakan tangan mengusir dan semua kembali tenang.

    aku menikmati pancake yang tinggal setengah. porchay sibuk mengelap gelas-gelas kaca sambil menonton drama di ponselnya. pete sedang berkarya di dapur dengan musik ceria.

    saat merasa rasa manis dari pancake mulai membuat bosan, aku meraih segelas susu tawar untuk menetralkan lidah.

    pandanganku mengarah ke pintu masuk yang terbuka. seseorang masuk dengan jaket hitam dan tudungnya dilepas dari kepala.

    susu dalam mulutku hampir kusembur keluar. lidah mendadak pahit apalagi ketika satu memori menghantam kepala, membuatku mendesis kecil yang diiringi kecemasan.

    "ayan, hai!" porchay memanggil nama pemuda itu dan mendatanginya untuk memberikan pelukan. "bagaimana kabarmu? sudah lama kau tidak kesini."

    aku mendengar mereka dari jarak yang cukup jauh sembari harap-harap cemas semoga yang dipanggil ayan tidak melihatku.

    "aku rindu cupcake bulan buatanmu," kata ayan.

    "akan kubuatkan sekarang juga!" porchay tersenyum lebar, membuat wajahnya sepuluh kali lebih bercahaya.

    yang bernama ayan duduk bersebelahan dengan jendela. ia mengeluarkan buku dari ranselnya dan mulai menulis atau menggambar, entahlah. jarakku terlalu jauh untuk tahu.

    pemuda itu masih tampak pucat seperti dua hari lalu ketika aku melihatnya menari di kuburan. tentang lebam membiru hitam, aku tidak bisa menemukannya karena ia mengenakan celana panjang dan jaket.

    satu hal lagi yang kujumpai tidak berubah dari ayan adalah maniknya yang kelihatan sekarat. jiwanya entah dibuang di mana. kehampaan absolut menaunginya tatkala tangan terus sibuk menoreh sesuatu pada halaman buku.

    penasaran... aku ingin lihat.

SUN&MOON | firstkhaoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang