BAB V: Panda dan Tazmania, Bagian 2

38 4 1
                                    

2.

"Kenapa sih ler? Lesu banget kayaknya."

Beler kelihatan lesu banget sesampainya di kelas. Ya, walaupun matanya memang beler, tapi ini benar seperti yang kurang tidur. Dia hanya menyandarkan kepalanya di meja dari tadi.

"Ngantuk. Semalam ngerjain laporan fisika kemarin."

Laporan fisika yang kemarin? Praktikum itu? Memangnya ada, ya? Kupikir hanya melakukan praktikum, dan begitu saja. Selesai.

"Oh," jawabku. Padahal aku tidak tahu, tapi pura-pura mengerti saja.

"Laporan kemarin udah dikerjain belum?"

Tiba-tiba ada yang menanyaiku. Isabella ternyata. Dia berdiri di depanku dengan berkecak pinggang.

"Emang harus bikin laporan?" aku tanya balik.

"Kan, kemarin dikasih tahu harus ada laporan. Masing-masing bikin satu."

"Yah, enggak tahu. Kayak enggak ada tuh, obrolan itu."

"Gua enggak kaget, sih," jawabnya ketus.

Dia pergi begitu saja ke tempat duduknya. Aku bisa melihat dia langsung mengobrol dengan Afifah, teman sebangkunya. Pasti membicarakanku. Pasti.

Habisnya, ketika praktikum itu aku diacuhkan berkali-kali. Yang diajak ngobrol juga cuma kawan sekelompokku yang lain. Mana aku tahu.

Kemudian Bu Nur datang, dengan dagunya yang masih saja tidak lelah dia angkat.

"Laporan sudah beres semua, kan?"

Baru datang udah langsung menanyakan itu saja. Seenggaknya salam dulu, kek!

Aku diam saja menatap ke luar jendela. Tapi lamunanku itu dipecahkan dengan sebuah kalimat perintah.

"Rama, laporanmu bawa ke depan sini."

Sial. Di antara 36 siswa di kelas ini, kenapa mesti aku duluan yang dipanggil. Padahal kalau diabsen juga, namaku itu ada di urutan ke dua puluh tujuh.

Aku berdiri dan menggerutu diam-diam. Boling terkekeh melihat itu, dan aku menyadarinya. Kurang ajar, lihat saja nanti.

"Mana laporanmu?" tanya Bu Nur.

"Ah, laporan yang mana, bu?"

"Laporan praktikum gerak parabola kemarin. Pasti kamu enggak buat, kan?"

"Oh, yang kelompok itu ya, bu? Itu sih, bukan saya penanggungjawabnya," jawabku.

"Loh, kan saya sudah bilang, tugas laporan itu sendiri-sendiri, biar ketahuan siapa saja yang mengerjakan."

"Tapi kan praktikumnya perkelompok, bu. Berarti laporan setiap anggota kelompok akan sama saja. Kan, buang-buang waktu kalau harus mengerjakan masing-masing."

Aku mengatakan itu sambil tersenyum, berusaha mengendalikan keadaan.

"Terus, sekarang kamu mau ngelawan saya?"

"Loh, enggak ngelawan, bu. Saya kan, cuma ngasih tahu aja," jawabku.

"Oh, pantas saja masuk penjara."

Aku terbahak-bahak mendengar itu. Aneh sekali ketika orang yang kalah dalam berargumen, lalu kemudian menyerang personal lawan bicaranya.

Aku mengangkat dagu dengan cara yang sama seperti yang dia lakukan.

"Yah, sayang banget ibu belum pernah cobain. Coba sehari aja deh bu, masuk penjara. Siapa tahu bisa pakai high order thingking skill yang ibu ajarin. Itu loh bu, yang enggak bisa ibu ajarin ke murid-murid," utasku.

Mukanya memerah, mulutnya merengut, dan buku absen di depannya ia genggam keras-keras.

"Apa maksudnya kamu ngomong gitu sambil menaikkan dagu? Memang nantang saya ya, kamu? Keluar sekarang!"

"Nah, itu satu-satunya pelajaran yang bisa saya ambil dari Ibu, mengangkat dagu saat berbicara. Biar kelihatan sombong! Ha ha ha."

Wajahnya makin merah. Sepertinya sih, dia berada di titik terkesalnya.

"Tanpa ibu suruh pun, saya bakal keluar kok," lanjutku.

Kemudian aku berjalan keluar pintu. Tapi sebentar, ada yang ketinggalan. Aku kembali membuka pintu, dan memasukkan kepala ke dalamnya.

"Lupa. Assalamualaikum!"

-000-

SEUMPAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang