BAB VII

18 0 0
                                    


1.

HARI-HARI SETELAHNYA menjadi bagian-bagian yang lucu bagiku di sekolah. Aku mengantar Isabella ke rumahnya, tidak terlalu jauh dari rumah Afifah. Ternyata, gadis dingin yang menyebalkan di sekolah itu senang membicarakan hal-hal sepele. Bayangkan saja, saat waktu itu kami pulang bersama, dia cerita mengenai komplek rumahnya yang mengadakan acara agustusan bulan kemarin. Dia bilang kalau dia malas datang, tapi ibunya memaksa untuk bangun pagi dan keluar hanya untuk sekedar mampir. Atau bagaimana dia menganggap pelajaran fisika juga menjadi persoalan rumit, dan dia menahan tawa ketika kejadian aku melawan Bu Nur tempo hari.

"Kok, bisa-bisanya lu sadar kalau Bu Nur suka mengangkat dagu saat dia berbicara?" katanya.

"Bagaimana bisa gua enggak menyadarinya? Bahkan Arvin, adik gua yang masih umur 2 tahun juga bisa menyadari kalau dagunya suatu saat akan jatuh."

Setelah pertemuan tak sengaja kami yang kedua itu, kami sering mengobrol di kelas. Aku yang memulai, seringkali. Bahkan kadang aku ke depan mejanya hanya untuk meminta air minum. Kau pernah merasakannya, kan? Membawa air minum ke sekolah itu menyusahkan. Kadang juga aku berpura-pura tidak mengerti tentang pelajaran matematika di sekolah. Karena dia salah satu yang pintar di kelas, aku berdalih menanyakan penyelesaian rumus aljabar kepadanya.

"Kalau 4x pangkat 3 ditambah 2x pangkat 2, nanti penyelesaian-" Dia berhenti menjelaskan. "Kenapa bukannya memperhatikan tulisan ini, tapi malah memperhatikan gua?" tanyanya.

"Enggak, kok. Ini lagi mendengarkan," jawabku.

"Mendengarkan, mendengarkan. Dari mananya?" Dia memukul kepalaku dengan pulpen pink yang ia pakai untuk menyelesaikan soal. Aku cuma tertawa setelahnya.

Sampai sekarang, aku belum pernah membayar uang kas. Aku sudah tahu pola ketika Isabella akan menagih uang kas: hari Senin. Tapi ketika hari itu tiba, aku akan datang terlambat, dan di paginya mencoba menghindar bagaimanapun caranya. Entah karena alasan apa, tiap harinya kami makin dekat. Bebungaan di dadaku terus tumbuh dan bermekaran. Kami saling berhubungan lewat berbagai sosial media, hanya untuk sekedar mengobrol, saling membalas unggahan aktivitas masing-masing di sana, dan berbagai hal remeh yang lain.

Kau masih ingat perempuan bernama Alina? Bagus, kalau masih ingat. Aku katakan kembali, kami masih berhubungan. Sebagai sahabat, tentunya. Aku sering bercerita tentang Isabella ke Alina ketika bertukar pesan.

"Jadi, si Isabella ini semenarik itu?" tanyanya.

"Iya, kadang dia suka mencari rusa untuk diambil tanduknya. Kadang juga memanjat pohon mangga tetangga saat main petak umpet," jawabku.

"Bisa gak, serius sedikit?"

"Ha ha ha."

Tidak jarang dia juga menceritakan tentang pacarnya. Pacarnya anak basket, mereka berkenalan ketika SMP, dan memulai hubungan di akhir SMP. Ya, sekarang hubungan mereka berjalan kurang lebih hampir tiga tahun. Ah, di SMA kami tidak satu sekolah. Aku masih ingat ketika Alina berlari di lorong sekolah sambil menangis, memegang berkas yang sepertinya berisi rapor dan nilai-nilai ujian. Aku menghiraukannya, tidak ingin mengganggu dia bersama dengan kesedihan yang memeluknya. Sampai setelahnya aku tahu, nilai ujiannya kurang dari yang dia inginkan, kurang dari nilai minimum untuk lolos sekolah negeri yang dia mau. Hingga akhirnya, Alina masuk salah satu sekolah swasta di daerah Bintaro.

Kadang kami masih sering kumpul dengan kawan seangkatan ketika SD dulu, di Bintaro. Tidak sulit untuk mengajak mereka bertemu, ada dan tiada satu hal pun untuk dibicarakan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 20 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SEUMPAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang