5.
Jujur saja, aku sama sekali tidak menyalahkan Isabella atas kejadianku yang diskors dari sekolah ini. Sama sekali tidak.
Tapi dari obrolan tadi, aku dapat melihat sesuatu di matanya: rasa bersalah. Padahal, tidak ada yang mesti disalahkan. Toh, aku diskors juga karena melawan Bu Nur itu.
Walaupun, aku masih ingin tertawa ketika mengingat ekspresi kesalnya barusan. Sepertinya aku punya hobi yang menarik dari kelas ini di hari kemudian.
Sekarang sudah jam 4 sore dan aku mesti rapat OSIS. Ah, aku hanya ingin sedikit bersantai. Tapi wajar saja sih, Reven Cup, kompetisi yang diadakan sekolahku, akan dimulai dua bulan lagi. Kami butuh persiapan matang-matang. Setidaknya, dengan aku diskors dari sekolah, jadi dapat mengerjakan keperluan ini-itu.
Ada beberapa hal umum dari kultur Indonesia saat ini. Salah satunya adalah penjadwalan yang ngaret. Iya, molor dari waktu yang ditentukan. Harusnya, rapat ini sudah dimulai dari jam 3 tadi, tapi belum ada kabar lebih lanjut.
Ponselku berbunyi, ada notifikasi dari grup, sepertinya sudah mulai kumpul.
"Hari ini kita enggak jadi rapat, ada pertemuan dengan sponsor, jadi diundur. Nanti dikabari lagi."
Benar saja kan? Sudah molor dari jadwal, enggak jadi pula. Waktu Indonesia bagian Omong Kosong. Setidaknya, kabari dari awal, dong!
Ya udah, karena enggak ada kegiatan lagi aku langsung pulang saja. Tentu, menjemput Tazmania dulu di parkiran belakang.
Di parkiran sudah sepi, hanya ada beberapa motor. Mungkin tersisa anak-anak futsal yang sedang ada kegiatan ekskul.
"Cabut, beh!" seruku.
"Cepat amat, tumben. Biasanya sampai maghrib baru beres."
"Rapatnya enggak jadi!"
Aku mengatakannya sambil memacu Tazmania keluar lahan parkir. Oh iya, Babeh ini yang menjaga parkiran murid-murid yang membawa motor. Dia memang biasa menunggu di lahan parkir sampai maghrib, karena biasanya murid-murid masih ada yang baru selesai kegiatan di waktu itu.
Di depan gang, seperti masih ada siswi yang sedang menunggu sesuatu. Kenapa aku merasa seperti mengenalnya? Setelah jaraknya semakin dekat, ternyata memang aku mengenalnya. Si burung hantu.
"Ngapain di sini sendirian? Nunggu ada mangsa yang lewat?"
Aku menghentikan motor dan menurunkan standar sampingnya. Kurang ajar, kenapa dia berekspresi seperti sedang melihat setan yang tiba-tiba melintas di depannya?
"Di antara banyak kendaraan dan orang yang lewat, kenapa mesti lu yang berhenti di sini, sih?" jawabnya.
"Nah, benar juga. Di antara banyak orang yang bisa diam berdiri di sini, kenapa mesti lu, ya? Aduh, heran."
"Lu berhenti, matiin motor, cuma buat ngejek doang ya? Kekanak-kanakan."
"Ya habisnya besok diskors, jadi butuh hiburan, deh," jawabku dengan senyum ejekan terbaik yang bisa kukeluarkan.
Isabella cuma melirik dan mengalihkan pandangannya, seperti sebelum-sebelumnya.
"Ngapain di sini? Menunggu apa kalau bukan menunggu tikus kecil yang lewat?" Tanyaku.
"Bukan urusan lu juga, sih. Ngapain coba nanya-nanya," jawabnya ketus.
"Galak amat kalau ditanya. Biasa aja kali."
"Mau bareng, gak?" lanjutku.
"Naik motor dengan stiker kekanak-kanakan itu?" Dia menunjuk Tazmania dengan jari telunjuk kanannya.
"Iya, dong. Keren, kan?" Aku menjawabnya sambil melirik stiker yang terpasang di bodi motorku ini.
"Gak, deh," ujarnya sambil memalingkan wajah ke ponsel yang dari tadi dia genggam.
"Ya sudah, duluan. Dadah!"
Aku menyalakan motor, memacunya dan meninggalkan tempat itu.
-000-
KAMU SEDANG MEMBACA
SEUMPAMA
RomantiekAku Rama. Berkuliah di salah satu universitas negeri di utara Bandung. Aku ingin menceritakan sebuah cerita di masa laluku, tentang bagaimana pertemuan demi pertemuanku dengan salah satu perempuan paling berpengaruh di hidupku. Kami bersahabat, seti...