8. Tamu

34 8 0
                                    

Pukul tiga dini hari, Lei dibangunkan oleh suara yang memanggilnya secara terus menerus yang berasal dari belakang rumah.

Saat Lei memeriksanya, seorang pria tinggi dengan pakaian serba hitam berdiri di dekat sumur. 'Siapa dia? Kenapa dia bisa ada disini?' Tanya Lei pada dirinya sendiri.

"Aeris Eileithya." Sosok itu memanggilnya.

"Kamu siapa?" Tanya Lei.

"Kau tidak perlu tau."

"Kamu siapa?" Lei mengulang pertanyaannya.

"Sudah kubilang kau tidak perlu tau, Aeris." Sosok itu mendekat, dan Lei mundur karena takut. 'Dia siapa sih? Ngeselin.'

Saat Lei hendak menutup pintu belakang rumahnya, sosok itu berusaha menarik pintu itu agar terbuka kembali.

"Pergi kamu!" Teriak Lei.

"Saya tidak akan mencelakaimu, jangan takut. Saya hanya ingin berbincang sebentar denganmu, Aeris."

"Aku enggak mau. Pergi!" Sekali lagi Lei berteriak.

Sosok itu tidak lagi berusaha membuka pintu itu. "Aeris, kau cucu Calixte, sang dewi pelindung. Benar bukan?" Lei telah berhasil mengunci pintu itu dan hendak lari ke kamarnya. Namun perkataan sosok itu menghentikannya. 'Bagaimana dia bisa tau?'

"Kamu siapa?" Lei makin penasaran mengenai identitas sosok itu.

"Eryx, dewa kematian." Ujar sosok itu.

'Dewa kematian?' Lei merasa kesal setelah mengetahui identitas tamu ini.

'Grandma, tolong...' Lei memanggil neneknya. Ia tidak tau harus bersikap bagaimana pada dewa ini.

Tak lama kemudian, terdengar suara ketukan dari arah pintu depan. Lei mendatanginya, namun Lei berpikir sejenak, itu neneknya atau sosok yang mengaku sebagai dewa kematian tadi?

Lei mengintip dari celah di bawah pintu. Bagian bawah gaun putih nampak menutupi kaki dari sosok yang mengetuk pintu itu. Itu pasti neneknya. Pikir Lei.

Saat Lei membukanya, bukan neneknya yang berdiri di sana. Melainkan Eryx yang membawa tubuh Calixte yang tak sadarkan diri.

"KAMU APAIN NENEK AKU?!" Teriak Lei pada Eryx.

"Dia tidak apa-apa, Aeris. Saya hanya menggunakannya agar saya bisa menemuimu." Eryx berucap santai. "Kau sangat cantik, seperti nenekmu dan ibumu." Eryx memuji kecantikan Lei.

Lei berdecak kesal. "Aku enggak butuh pujian kamu."

Eryx menerobos masuk ke rumah Lei dan meletakkan tubuh Calixte di kursi.

Lei semakin geram. "Lancang kamu! Pergi!"

"Saya hanya ingin mengobrol sebentar denganmu, Aeris. Jangan marah-marah, atau saya buat kamu bernasib sama seperti nenekmu."

Perkataan itu berhasil menakuti Lei, dan Lei setuju untuk mengobrol sebentar dengan Eryx.

"Sebentar aja ya? Dan tolong biarin nenek aku disini aja." Ucap Lei dan dibalas anggukan oleh Eryx.

Lei mengajak Eryx untuk mengobrol di teras, dan mereka berdua duduk di sana tanpa alas apapun.

"Aeris Eileithya, kau kesulitan mengambil jiwa terget ke tujuh bukan?" Tanya Eryx.

Lei mengerutkan keningnya. 'Kok dia bisa tau?'

"Nenekmu yang mengatakannya padaku." Ucap Eryx seolah-olah tau apa yang dipikirkan Lei.

"Mau ku ceritakan sedikit tentang anugerah itu?" Eryx menawarkan.

"Aku udah tau ceritanya."

Eryx terkekeh. "Bukankah dewa satu ini sangat baik hati? Dia masih mau memberikan keturunan dari dewi yang menolak cintanya sebuah anugerah yang luar biasa." Eryx membanggakan dirinya sendiri.

EILEITHYA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang