"Aaarrggh! Pusing banget saya!"
Di dalam ruangan bernuansa putih dengan beberapa corak di dalamnya terlihat seorang lelaki dewasa sedang menggeram kesal sembari mengacak rambutnya frustrasi karena baru saja dirinya mengetahui bahwa salah satu kliennya membatalkan kerjasamanya, padahal klien itu berasal dari salah satu perusahaan ternama.
Dimas, lelaki itu adalah CEO dari sebuah perusahaan bernama PT. Dimas Sakti. Lelaki berusia tiga puluh tahunan itu nampak frustrasi, dirinya menggeram kuat dan memukul meja dengan cukup keras.
"Baru aja gue mau dapetin tender itu, tapi kenapa malah mereka batalin? Sial!" umpat Dimas.
"Aaarrggh!" Lelaki itu menggeram, kemudian duduk di bangku kebesarannya dan memijat pelipisnya sendiri.
Dimas hanya menatap kosong meja yang berada di depan matanya. Rasanya lelaki itu ingin terus menggeram, tetapi untuk apa, toh semua tidak akan kembali seperti semula. Hanya bisa diam dan memijat pelipisnya agar rasa pusingnya sedikit berkurang.
Tok tok tok!
Tiba-tiba saja terdengar suara ketukan pintu dan berhasil mengalihkan atensi Dimas yang sedang termenung menatap meja kerjanya.
"Masuk!" titah Dimas. Pintu terbuka dan menampilkan sosok wanita cantik yang berpakaian formal.
Mengenakan tank top berwarna merah yang hanya dibaluti oleh blazer hitamnya, dengan bawahan menggunakan rok span di atas lutut, terlihat seksi. Itu adalah Seina, sekretaris Dimas di kantor. Seina sudah bekerja selama lima tahun bersama Dimas.
"Permisi pak," ucap Dimas.
"Ya? Ada apa, Sei?" tanya Dimas yang kemudian menoleh kepada Seina.
Saat kedua matanya melihat kepada Seina, entah kenapa tiba-tiba saja degupan jantung Dimas berpacu sedikit cepat, tidak biasanya Dimas seperti itu, padahal setiap hari dirinya selalu bertemu dengan Seina, tetapi kali ini entah kenapa lelaki itu dengan spontannya meneguk ludah melihat penampilan Seina yang cukup seksi.
Padahal, Seina seringkali berpakaian seperti itu, bukan hanya hari ini, dan karyawan yang lain pun banyak yang menggunakan pakaian seperti Seina. Namun entah mengapa hari ini Dimas seperti terpesona melihat keindahan tubuh Seina.
"Astaga, Seina cantik banget hari ini," batin Dimas.
"Ada apa Sei?" tanya Dimas dan mempersilahkan Seina untuk duduk di kursi seberang Dimas.
"Ini pak, ada beberapa berkas yang harus Bapak tanda tangani." Seina menaruh berkas itu ke atas meja. Dimas mengangguk dan membaca sejenak berkas itu sebelum dirinya menandatangani berkas itu.
Diliriknya sekilas wajah Seina oleh Dimas, entahlah kenapa rasanya hari ini Seina terlihat berbeda dari biasanya. Dengan rambutnya yang diikat sanggul dengan rapi membuat leher jenjang Seina terlihat begitu mempesona bagi Dimas.
Merasa dirinya sedang ditatap oleh sang atasan membuat Seina merasa gugup dan menundukkan kepalanya guna memeriksa apakah ada yang salah dengan penampilannya?
"Kenapa pak? Ada yang salah dengan penampilan saya?" tanya Seina. Sontak, Dimas segera menggelengkan kepalanya dan terlihat salah tingkah.
"Tidak ada yang salah," jawab Dimas sedikit gugup. "Saya pusing, Sei," ucap Dimas kemudian, mengeluh kepada sekretaris yang sudah menemaninya selama lima tahun ini.
"Bapak sakit?" tanya Seina nampak khawatir melihat wajah Dimas yang sedikit kacau.
"Hanya sakit kepala. Lebih tepatnya gara-gara tadi klien kita membatalkan kerjasama. Padahal perusahaan mereka bisa menguntungkan kita." Dimas sedang menceritakan keluh kesahnya kepada Seina.
Seina memang sudah dipercaya oleh Dimas, karena dedikasinya yang bagus untuk Dimas dan perusahaan Dimas Sakti. Seina selalu bekerja dengan benar, menemani kemanapun Dimas pergi, dan dengan sigap menyiapkan perlengkapan apapun yang Dimas butuhkan.
"Perlu saya ambilkan obat pak?" tanya Seina yang kemudian berdiri hendak mengambilkan obat sakit kepala untuk sang atasan.
"Tidak usah Sei," tolak Dimas, lantas Seina mengangguk dan kembali duduk.
Dimas kembali menunduk dan mulai menandatangani berkas itu, tetapi tangannya kirinya sibuk sekali memijat pelipisnya yang memang terasa berdenyut. Seina merasa khawatir, tidak biasanya Dimas seperti ini, biasanya lelaki itu selalu terlihat gagah dan berwibawa.
Seina sudah merasa dekat dengan Dimas karena memang keduanya kerap kali pergi berdua, entah itu untuk bertemu dengan klien dalam acara rapat kerja, maupun dalam acara pesta yang dibuat oleh klien, karena memang Dimas belum memiliki pasangan, begitu juga dengan Seina.
Dimas dan Seina terpaut usia tiga tahun, Seina berusia 27 tahun saat ini. Wanita itu perlahan bangkit dari duduknya dan mendekati Dimas untuk memastikan apakah Dimas baik-baik saja karena terlihat Dimas sepertinya sedang tidak baik-baik saja saat ini.
"Pak, Bapak sakit? Sepertinya Bapak sakit, nggak biasanya Bapak kayak gini. Mau saya pijit pak?" tawar Seina.
Dimas menoleh. "Apa tidak merepotkan, Sei, kalo kamu mijit saya?" tanya Dimas. Dengan cepat Seina menggelengkan kepalanya.
"Tentu nggak, pak, saya nggak ngerasa direpotin. Saya pijit ya? Biar enakan ke bapak. Soalnya saya liat bapak kayaknya lagi nggak baik sekarang." Seina semakin mendekat.
"Mau kepala atau pundak pak?" tanya Seina sebelum tangannya menyentuh tubuh kekar sang atasan.
"Kepala aja, Sei. Kepala saya pusing banget," ucap Dimas.
Seina mengangguk. "Baik, saya izin ya pak."
Dimas mengangguk, memberikan izin kepada Seina untuk memijat kepalanya. Seina mulai memijat kepala Dimas dengan sedikit hati-hati karena takut jika Dimas merasa kesakitan. Dimas yang awalnya sedang membubuhkan tanda tangan, kini ia hentikan sejenak untuk menikmati sentuhan tangan Seina di kepalanya.
Lelaki itu memejamkan matanya menikmati pijatan lembut tangan Seina di kepalanya. Rasanya kepala Dimas sudah mulai membaik.
"Kamu pinter mijat juga ya, Sei. Sudah cantik, pintar dalam bekerja, juga pintar mijet. Calon istri idaman. Pasti nanti yang jadi suami kamu beruntung banget," puji Dimas, sontak membuat Seina tersenyum simpul mendengar pujian dari sang atasan.
"Ah, Bapak bisa aja. Ini biasa aja kok, pak, saya mijitnya. Kalo bapak enakan, syukurlah," jawab Seina. Dimas hanya tertawa kecil.
"Mau pundaknya sekalian pak? Biar bapak relax." Seina kembali menawarkan.
"Apa tidak merepotkan?" tanya Dimas. Seina mengatakan tidak repot sama sekali. Akhirnya Dimas mengangguk, menginginkan lebih atas sentuhan tangan Seina.
Kini Seina sedang memijat pundak Dimas, lelaki itu merasa sangat nyaman, lantas tangannya menyentuh tangan Seina yang berada di bahunya. Entah kenapa, Dimas seperti menyukai sentuhan lembut dari tangan Seina. Ini memang kali pertama Seina memijat tubuh Dimas.
"Kenapa pak?" tanya Seina saat Dimas menyentuh tangan lembutnya.
"Gak apa-apa. Tangan kamu lembut banget, Sei. Enak banget kamu mijitnya. Tapi kayaknya kurang puas banget karena kehalang jas sama kemeja saya ini. Bisa kita pindah ke sofa?" Dimas menoleh kepada Seina.
Seina terlihat gugup dan terkesiap saat Dimas menginginkan untuk berpindah tempat, tetapi wanita itu tidak akan bisa menolak keinginan dari atasannya, karena bagaimanapun Dimas sudah banyak membantunya. Ya, Dimas adalah atasan yang sangat baik bagi Seina.
Dengan perasaan gugup, tetapi nyatanya wanita itu tidak merasa keberatan sama sekali atas ajakan Dimas, Seina mengangguk, menyetujui ajakan Dimas yang ingin berpindah tempat ke sofa yang masih berada di ruangan itu. Dimas tersenyum. Sejujurnya selama ini Seina mengagumi sosok Dimas, karena lelaki itu memang tampan dan terlihat gagah, serta berwibawa.
Dimas juga lelaki yang cerdas dan sangat bijaksana, belum lagi kekayaannya yang melimpah di usianya yang baru menginjak tiga puluh tahunan, tetapi sayangnya Dimas belum berkeluarga karena kesibukan di perusahaan. Hal itu membuat Seina merasa senang karena dengan begitu dirinya bisa berdekatan dengan sang atasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
CEO Nakal
Romance"Pak, saya gak enak." "Udah, enakin aja." "Enak gak, pijetan saya?" "Enak Pak, enak banget. Ternyata Bapak jago juga ya mijet, saya nggak nyangka." Bagaimana jadinya jika seorang CEO dari perusahaan besar menjalin hubungan dengan sekretaris pribadin...