Sentuhan Lembut Sang Sekretaris

51.6K 178 10
                                    

Kini Seina dan Dimas sudah duduk di atas sofa secara berdampingan. Terlihat di sana Dimas yang membuka jas hitamnya dan menaruhnya ke atas meja. Seina hanya diam memandangi sang atasan.

Seina memang terlihat anggun, dari cara duduknya pun sudah terlihat, hal itu membuat Dimas merasa bangga memiliki sekretaris yang terlihat terpelajar. Sekilas mata Dimas melirik ke arah paha Seina yang sedikit terlihat karena rok span yang digunakan oleh Seina sedikit terangkat.

Lagi-lagi Dimas harus meneguk salivanya, tetapi dengan cepat lelaki itu menggelengkan kepalanya untuk menyadarkan dirinya sendiri. Kini tubuh Dimas hanya dibaluti oleh kemeja coklat dan celana panjangnya saja.

"Ayo, Sei." Dimas menoleh, Seina tersenyum dan mengangguk, kemudian mulai memijat pundak Dimas dengan perlahan tetapi sangat terasa oleh Dimas. Hal itu membuat Dimas merasa keenakan dan nyaman sekali.

Lelaki itu memejamkan matanya, menikmati setiap sentuhan tangan Seina. Di belakang sana, Seina hanya tersenyum memandangi punggung sang atasan. Baginya Dimas adalah lelaki yang sempurna, Seina sangat mengaguminya, tetapi tidak berani untuk jatuh cinta karena takut jika cintanya tidak akan terbalas.

"Aduh, Sei, enak banget padahal, tapi tangan lembut kamu nggak kerasa jadinya. Boleh saya buka kemeja saya, biar makin kerasa pijatan kamunya." Dimas menoleh ke arah Seina.

Sontak, jantung Seina dibuat ketar-ketir oleh Dimas saat lelaki itu meminta izin untuk membuka kemejanya, dengan begitu Seina akan melihat lekuk tubuh Dimas dengan jelas. Seina meneguk ludah sebelum menganggukkan kepala.

"Kenapa, Sei? Kamu keberatan?" Dimas sepertinya merasa bahwa Seina sedikit keberatan.

"Ah, ng-nggak kok pak. Saya nggak keberatan kalo memang bapak lebih nyaman dibuka kemejanya." Seina tergagap, dan Dimas hanya tertawa kecil melihatnya, baginya Seina terlihat lucu.

"Bener gak papa? Kalo kamu keberatan saya gak akan buka," ucap Dimas, tetapi Seina tidak ingin membuat atasannya merasa kecewa, dengan mantap Seina tersenyum dan mengatakan tidak keberatan.

Dimas lagi-lagi tertawa kecil. "Oke, bentar, saya kunci pintunya dulu. Takut tiba-tiba ada yang masuk, terus salah paham liat saya gak pake baju." Dimas kembali tertawa dengan ucapannya, begitupun Seina yang turut tertawa.

Setelah pintu berhasil terkunci, Dimas kembali duduk di samping Seina. Dengan tanpa ragu Dimas segera membuka kancing kemejanya satu persatu, dan kini terlihatlah tubuh kekar Dimas, juga perut sixpacknya yang membuat Seina harus bersusah payah meneguk ludah.

"Sei, kita kan udah lama kerja bareng. Kemana-mana kita selalu berdua. Jadi kamu nggak usah canggung liat saya telanjang gini ya. Kamu itu orang terdekat saya, Sei. Gak ada perempuan lain yang deket sama saya. Jadi kamu santai aja, oke?" Dimas tertawa kecil melihat Seina yang nampak kikuk saat melihat tubuh atletis Dimas.

Seina terlihat malu, lantas mengangguk kikuk. "I-iya pak," jawabnya.

"Ya udah, yuk." Dimas membelakangi Seina.

Seina mulai memijat pundak Dimas dengan tangannya yang lembut, tentu saja Dimas sangat menikmatinya. Lelaki itu nampak merem melek merasakan sentuhan lembut dari tangan Seina. Seina pun merasa senang, sedari tadi wanita itu terus tersenyum memandangi indahnya tubuh sang atasan.

"Gila sih, gak nyangka gue bisa liat tubuhnya pak Dimas. Maco banget," batin Seina.

"Ah ... enak banget, Sei," ucap Dimas, mendesah keenakan. Seina hanya tersenyum.

Setelah beberapa menit Seina memijat pundak Dimas, akhirnya Dimas meminta untuk berhenti karena takut jika Seina akan kelelahan. Seina hanya menurut saja, tetapi Dimas belum mau mengenakan kemejanya kembali.

"Sei, tadi kan kamu terus yang pijatin saya. Sekarang gantian, saya yang pijatin kamu. Gih, ngadep sana," pinta Dimas, tetapi Seina menolak karena tidak ingin dicap sebagai karyawan yang kurang ajar.

"Gak usah pak. Saya nggak mau dipijat kok. Lagian, masa bos mijet karyawannya, bapak ini ada-ada aja." Seina tertawa kecil, pun dengan Dimas yang juga turut tertawa.

"Gapapa, Sei. Kamu selalu bisa perhatiin dan peduliin saya. Seharusnya saya juga bisa perhatiin dan peduliin kamu, apalagi kamu sekretaris pribadi saya. Apa-apa kamu yang urus. Ini sebagai ungkapan terima kasih saya buat kamu. Biar kamu juga relax. Oke? Atau anggap ini perintah," ucap Dimas, sedikit tegas agar Seina mau menurutinya.

Akhirnya Seina mengangguk karena tidak ingin membuat Dimas marah. Seina membelakangi Dimas, sang atasan tersenyum dibuatnya. Melihat leher jenjang Seina membuat pikiran Dimas berlari entah ke mana, rasanya Dimas ingin menerkam leher mulus itu.

Dimas mulai memijat kepala Seina, selang beberapa detik kemudian tangan Dimas berpindah dan mulai memijat pundak Seina dengan lembut, takut kalau Seina akan kesakitan jika Dimas memijatnya dengan keras.

"Pak, udah, jangan kelamaan, nanti bapak pegel." Seina sedikit menoleh ke belakang.

"Nggak kok Sei, saya gak pegel. Udah, kamu nikmatin aja. Kalo terlalu keras bilang ya," pinta Dimas.

"Pak, makasih ya. Bapak baik banget. Saya jadi nggak enak dipijatin sama atasan." Seina merasa malu, tetapi Dimas hanya tertawa kecil.

"Enakin aja Sei," ucap Dimas.

Dimas masih memijat pundak Seina, sesekali lelaki itu mengelus lembut leher jenjang Seina sehingga membuat Seina mendesah secara spontan.

"Mulus banget lehernya. Pengen gue terkam rasanya," batin Dimas.

"Sei, percaya deh sama saya, kalo dipijit langsung itu rasanya lebih enak, lebih puas," ucap Dimas. Seina nampak kebingungan.

"Maksudnya pak?"

"Maksudnya, kalo tangan saya nyentuh langsung ke pundak kamu ini pasti rasanya lebih enak. Tanpa terhalang blazer kamu ini. Saya kan barusan udah nyobain. Rasanya beda banget saat masih pake kemeja sama pas udah dibuka, jadi sentuhan tangannya bener-bener kerasa. Kalo kamu mau, kamu bisa buka blazer kamu ini." Dimas sedang mencari cara agar Seina membuka blazernya.

"T-tapi saya malu pak," jawab Seina.

"Nggak usah malu-malu, liat saya aja belum pake baju. Kayak sama siapa aja. Kan saya tadi udah bilang, jangan sungkan kalo sama saya, kita barengan udah lima tahun lho, Sei. Kamu jangan takut, saya cuma mijit, gak bakal ngapa-ngapain kamu." Dimas tertawa karena melihat Seina yang seperti sedikit takut.

Tetapi Dimas tidak akan menyerah sebelum Seina benar-benar membuka sebagian pakaiannya itu. Entah kenapa Dimas seperti terpesona melihat keindahan tubuh Seina, Dimas ingin lebih, ingin melihat lebih jauh ke dalam.

Entahlah, rasanya hari ini Dimas seperti gila melihat paha mulus Seina, juga leher jenjang Seina yang terlihat putih, bersih, dan mulus, apalagi saat tadi Dimas menyentuhnya.

Dimas juga seperti terangsang saat tadi tidak sengaja Seina mengeluarkan desahan pendeknya saat tiba-tiba saja Dimas mengelus lembut leher jenjangnya.

"Bener gapapa, pak?" Seina kembali bertanya.

"Gapapa, Sei. Ayo buka," pinta Dimas.

Seina mengangguk dan mulai membuka blazer hitamnya, lihatlah wajah Dimas nampak kesenangan saat Seina menuruti permintaannya.

"Perfect!" batin Dimas yang kemudian meneguk salivanya saat melihat pundak mulus nan putih kepunyaan sekretaris pribadinya sendiri.

•••












Hayooooo!

Pada traveling gak nih 🤣

CEO Nakal Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang