sᴜᴋᴀ

551 89 27
                                    


"Dain, dulu orang yang kamu maksud itu siapa, sih? Aku masih nggak tahu sampai sekarang."

▴▿▴

(Y/n) terheran-heran dengan Dainsleif hari ini. Sahabatnya itu terlihat bersih--maksudnya, dia memang selalu bersih tetapi hari ini (Y/n) merasa dia kelewat bersih seperti habis melakukan perawatan. Belum lagi rambutnya sedikit mengkilap, dan bau parfum yang menyengat tapi enak dicium.

"Kamu ... mau ke kondangan, Dain?"

Remaja laki-laki tersebut segera menoleh pada (Y/n), lalu detik selanjutnya ia nampak ragu menjawab. Sahabatnya hanya bisa memiringkan kepala melihat ekspresi gugup Dainsleif.

Namun Dain menarik napas dan memberanikan diri. Dia sudah berusaha,  usahanya ini tidak boleh sia-sia.

"Apa aku ... jadi nampak menarik bagimu?"

"Ha?" (Y/n) memiringkan kepala ketika Dainsleif menggaruk-garuk belakang lehernya bersama rona merah di pipi. Selama beberapa detik, (Y/n) hanya diam menatapi Dain, menambah rasa gugup Dainsleif hingga ia menunjukkan wajah oh tanda paham.

"Jadi kau memang mau ke acara, ya! Hm! Kamu kelihatan siap~!" (Y/n) mengangguk antusias, lalu satu alisnya terangkat lagi, "Tapi, kenapa dandan dari pagi? Apa nanti pulang sekolah kamu langsung ke sana, nggak singgah di rumah dulu?"

Apa yang bisa diharapkan Dainsleif? Dain menghela napas dengan tubuh yang menjadi lemas. Kemudian dia melipat kedua lengan di dada dan menatap (Y/n) lurus.

"(Y/n), a--" 

"Oh! Oh! Dimana acaranya? Kamu hadiri acara apaan? Disana pasti banyak makanan mewah!" potong (Y/n) semangat. Yang (Y/n) tahu, Dainsleif anak orang kaya, pasti acara yang ia hadiri tak main-main. Seketika ingatan makanan-makanan mewah seperti di TV memenuhi kepalanya.

"(Y/n)! Aku nggak ada acara!"

Sontak, (Y/n) sedikit terkejut mendengar bentakan kecil sahabatnya. Lagi-lagi cemberut mendatangi ekspresi lelaki itu. (Y/n) sungguh tak paham mengapa Dainsleif sangat mudah ngambekan karena hal-hal kecil.

Masa cuman karena (Y/n) salah tebak, Dainsleif jadi begini?

Majalah mana yang bilang pikiran wanita lebih rumit, ya? Aku mau bilang itu salah. Pikiran Dain lebih rumit bagiku ....

✐﹋﹋﹋˚

Langit yang ditutupi awan, beserta angin sepoi-sepoi menambah hawa dingin yang ada. Seharusnya di waktu ini, matahari-lah yang mengambil giliran, tetapi mendung duluan menerobosnya.

"Uwa? Mau hujan?" gumam (Y/n).

" ... aku nggak bawa payung hari ini. Tadi pagi ramalan cuaca bilang bakalan terik," gumam Dainsleif juga, dia sudah terbiasa menjadi orang yang menyiapkan payung untuknya dan (Y/n).

Kalau boleh jujur, Dainsleif tidak masalah sama sekali. Bahkan (Y/n) ketika di awal-awal selalu menolak ajakan payungnya, tetapi berakhir dipaksa Dain sehingga mau tak mau ia harus ikut. Sekarang, sudah menjadi kebiasaan baginya untuk berbagi payung. Dain tidak pernah merasa direpotkan, justru diam-diam dia sedikit senang akan hal itu.

"Ya udah. Kita duduk di sini aja sampai hujannya berenti, ato jemputanmu datang." (Y/n) pun duduk di salah satu bangku halaman sekolah yang beratap, lalu menaruh kaki kanan di atas kaki kirinya.

[END] 𝗝𝘂𝘀𝘁 𝗔 𝗙𝗿𝗶𝗲𝗻𝗱!? ┊▿Dainsleif Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang