Hari demi hari telah berlalu dan hubungan Harsa dengan Nara pun semakin maju. Namun sayang jawaban yang Nara mau belum bertamu, apakah ia terbawa angin lalu? Entahlah Nara tak mau menuntut, malu.
Pagi itu Nara ingin menyapa Harsa dengan cara yang berbeda. Tak lagi mengirim pesan atau membuat tweet seraya menandai akun pria itu. Namun dengan memberi sapaan langsung melalui jaringan telepon.
Nara nyaris berteriak saat Harsa mengangkat teleponnya lebih cepat dari yang ia kira.
"Selamat pagiiiiii, Pangeran."
"Pagi, Nara," jawab Harsa dengan suara berat nan serak yang berhasil membuat wajah Nara memerah. "Tumben telepon?" lanjut Harsa.
"Iya, lagi pengen hehe. Soalnya hari ini pengumuman seleksi lomba, kan?"
"Iya."
"Yeay! Gue tunggu kabar baiknya ya, Sa."
"Thanks, Ra." Terdengar suara sendok yang berbenturan dengan piring dari seberang sana, "Deg-degan parah," ungkap Harsa.
"Pastiii." Nara menegakkan tubuhnya. "Coba tarik napas, buang. Tarik napas, buang, and repeat."
"I will."
"KOK GUE MALAH JADI IKUT DEG-DEGAN YA."
Terkekeh Harsa mendengar pengakuan Nara. "Karena lo tau prosesnya, Ra."
"Iya juga sih, padahal baru seleksi lho. Apalagi kalau nanti lomba beneran, bakal disko kayanya jantung gue."
"Pas lomba benerannya gue harus dateng buat presentasi."
"Beneran? Di mana?"
"Salah satu wisma di Puncak."
"HA?! Jauh banget, Sa?"
"Lumayan kalau dari Jakarta."
"Lo potret foto baru... atau foto yang udah ada?"
"Kayanya foto baru deh. Kemarin gue baca ketentuan lombanya kaya gitu. Gue udah minta tolong Njan juga buat nemenin gue hunting."
"Nggak sekalian minta ditemenin ke Puncak juga, Sa? Itu anak pasti seneng, deh."
"Nggak, gue mau ajak lo," ucap Harsa yakin.
"Ha?"
"Gue mau ajak lo, Ra."
"G—gue?"
"Iya. Lo, Nara."
"Wait, lo...dalam keadaan sadar, Sa?"
"Sadar."
"Lo... nggak abis minum susu basi, kan? Atau menu sarapan yang mencurigakan?"
"Nggak, gue serius."
"YA, AMPUN!!! KAYANYA GUE MIMPI DEH!!!" Nara berdiri dari duduknya dan berjalan ke arah balkon kamar. "BENTAR! GUE MAU BANGUN DULU."
"Nara..."
Untuk memastikan itu mimpi atau bukan, Nara melihat ke bawah dari atas balkon. Jika kakinya merinding, itu dipastikan bahwa ia memang sudah bangun. "NGGAK MIMPI, SA."
"Mau, kan?"
"YA, MAULAH, GILAAAAA!"
"Nggak usah teriak, Ra."
"Ehehe, sorry." Nara mengatur napas serta suaranya agar terdengar jauh lebih tenang. "Gue mau, Harsa. Gue mau ikut lo ke Puncak."
"Bagus, itupun kalau gue menang ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Harsa & Sesal
Teen FictionHarsa Anggara, sebut ia si pria dingin dan keras yang berhasil menyembunyikan luka terhebatnya. Topeng yang terpasang membuat orang-orang tak sadar akan sepi dan hancurnya hidup pria itu. Hingga suatu ketika datang Nara Laguna, si gadis hangat dan l...