Matahari pagi ini sangat terik. Jalan raya pun tak lagi dipadati oleh orang-orang yang bergegas ke kantor ataupun rombongan siswa-siswi berseragam yang hendak pergi ke sekolah. Hal itu sudah jelas menandakan bahwa bel sekolah ataupun jam masuk kerja sudah lewat. Namun, sepertinya hal itu tidak berlaku bagi Harsa yang saat ini masih duduk di atas motor dan menatap gerbang sekolah yang sudah terkunci rapat.
"Jam delapan lewat? Udah pasti gak bisa masuk," monolog Harsa
Sebelum benar-benar pergi, Harsa menurunkan kaca helmnya untuk menutupi wajah dan identitasnya, takut sewaktu-waktu berpapasan dengan orang yang mengenalnya.
Tempat yang menjadi tujuan Harsa bukanlah rumah, melainkan warung mie rebus di belakang sekolah yang menjadi tempat ternyaman bagi mereka yang suka melanggar sekolah untuk menghabiskan waktunya. Entah itu untuk sekedar berkumpul, makan mie, membeli kerupuk kulit, atau merokok seperti yang Harsa lakukan.
"Bi, nitip motor ya."
"Siap, Harsa."
Setelah memarkirkan motornya di halaman belakang Warung Mie Bi Munah, Harsa tidak langsung pergi. Ia menghubungi Daffa untuk menanyakan kondisi dan situasi di kelas.
Tak ingin berlama-lama, Harsa segera pergi dari sana dan berjalan sejauh lima puluh meter ke arah pagar kecil yang menjadi pintu penghalang tembok sekolah dengan jalanan warga.
Sebelum benar-benar memanjat, Harsa menatap tembok yang sedikit lebih tinggi darinya itu. Meski ini bukan kali pertama Harsa melakukannya, tetapi tetap saja jantungnya berdegup kencang setiap kali ingin memanjat.
Harsa menghela napasnya kasar, melompat setinggi yang ia bisa, lalu memegang ujung tembok itu dengan kedua tangannya.
"Aw!" Reflek tangan kanan Harsa melepaskan pegangannya ketika ia merasakan ada yang tidak beres dengan tembok itu. Namun, karena tak ingin menyerah, Harsa membiarkan si tangan kiri yang berpegang sendiran di sana, meskipun benda tajam melukainya.
Dengan sekuat tenaga Harsa memanjat dan naik ke atas. Ketika ujung tembok sudah terlihat, tangan kanan Harsa berpegangan dengan dasar yang tak ditancap oleh pecahan kaca. Dan ketika sudah berhasil berdiri di sela-sela benda tajam itu, Harsa dengan cepat turun ke bawah.
"Bangsat, sejak kapan tembok belakang dipasang beling gini..." Harsa memperhatikan luka lecet yang ada di tangannya. "Berdarah tangan gue, Njing."
---oOo---
"Huwaaah, ke lab." Yudha berdiri dari duduknya dan mengambil buku mata pelajaran kedua dari dalam tas.
"Ayo, Dha," ucap Nara yang sudah siap dengan buku, serta pulpen nya.
"Iya, ayo."
Yudha dan Nara berjalan beriringan menuju lab yang letaknya ada di lantai satu. Tepatnya dekat koperasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Harsa & Sesal
Teen FictionHarsa Anggara, sebut ia si pria dingin dan keras yang berhasil menyembunyikan luka terhebatnya. Topeng yang terpasang membuat orang-orang tak sadar akan sepi dan hancurnya hidup pria itu. Hingga suatu ketika datang Nara Laguna, si gadis hangat dan l...