Akhir-akhir ini saya sering berkunjung ke ruang bawah tanah itu; tempat riuh di kepalamu tertidur lelap. Saya ingat, dulu pada saat kita masih hidup bebas kita selalu mengunjungi ruangan itu selepas pulang sekolah. Kita berdua, membaca novel romansa dan buku puisi yang kita pinjam di teman yang tak kita ingat siapa namanya. Lalu kita meminum anggur dan mabuk kata-kata sampai kita lupa isi dunia, sampai Ibu mengetuk pucuk kepala saya dan jemari tanganmu dan kemudian; suara berisik itu membuat kita muak lalu terbangun dan kita menulis puisi sampai kita tertidur di sana untuk kemudian terbangun, dan mengulang hal yang sama keesokan harinya.
Saya pikir kamu masih mengingatnya dengan baik. Tapi jika tidak pun tidak apa-apa. Sebab pada waktu itu, sayalah yang memaksa dua belah bibirmu untuk mengaku. Sayang, kemana kiranya teriakan yang riuh itu pergi ketika malam hari? Apakah mereka juga ikut terlelap saat kedua mata indahmu memejam erat? Apakah di bawah pelupuk matamu? Apakah di kedua sudut bibirmu? Atau, mereka masih berada di tempat yang sama; ruang kepalamu yang kerap kamu keluhkan sakit, yang sesaknya sampai menembus inti jantungmu, dan hanyut di antara sungai-sungai itu; yang deras mengaliri mata-matamu, yang lekas mengering di pagi hari.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
jangan mati di dalam kepala saya
PoetrySaya beri tahu kamu, perihal tubuh menyedihkan itu yang menggenangi kelopak mata saya. Perihal keabadian yang sudah sejak lama menanti di tepi perbatasan sana, ketika kata-kata telah selesai ditulis, ketika jari-jemari melambai di sebalik dinding ka...