Sepuluh

635 44 6
                                    

Jaemin tidak menyukai suara keran air di samping kamarnya. Itu mengganggu, terutama di pagi hari. Entah bagaimana ceritanya, suara alirannya bisa menempel ke dinding kamar. Ruang wastafel itu seharusnya berada lebih dekat dengan dapur. Namun, Mama menyukai rancangan di mana bagian rumah antara pribadi dan tamu terpisah. Jadi, beliau membuat wastafel khusus. Ayah setuju-setuju saja, manusia bucin seperti Ayah tidak akan pernah bisa menolak permintaan Mama. Jaemin masih ingat ia juga suka menggunakan wastafel tersebut, karena langsung terlihat dari pintu masuk. Dirinya yang tidak perlu jauh-jauh pergi ke dapur untuk mencuci tangan dan langsung melesat pergi ke kamarnya yang berada di lantai atas.

Akan tetapi, itu dulu, ketika ia tidak mengemban status sebagai penghuni kamar Mama—si pemilik ruangan samping wastafel tamu. Memori indah itu seketika meluap setiap kali Jisung, adiknya, dengan jail mencuci tangan di wastafel tersebut saat pagi buta untuk membangunkannya. Sialan.

“Bangun, Kak! Sarapan, woy!”

Seakan belum cukup membuat dahi Jaemin berkerut dengan suara blukblukbluk yang khas, debar badan pintu pun sukses menyisihkan konsep ketenangan di ruang kamarnya; suara halus humifider, kuning lampu meja temaram, dan Ruru—ikan Jaemin—yang berenang tenang.

“Anjing.” Satu umpatan lolos di Senin pagi yang belum mulai apa-apa.

Jaemin menyibak selimut, mengubah posisi menjadi duduk dengan kedua kaki menjuntai di sisi ranjang. Tangannya mengacak-acak rambut dengan kesal sebelum bangkit dan melangkah keluar kamar. Kain satin hitam yang melekat pada tubuhnya meliuk-liuk saat usaha mencari punggung sang adik dilakukan—Jisung yang kini terkikik di dekat kulkas, mau siap-siap minum susu.

Jisung selalu seperti itu. Ketika Jaemin bersiap untuk menyerang, anak itu selalu mencari celah untuk melakukan sesuatu, khususnya minum. Karena Jisung tahu Jaemin tidak akan menganggunya, itu berbahaya—salah aliran ke tenggorokan, keselek.

Akan tetapi, begitu satu teguk terakhir, Jaemin sudah melebarkan lengan untuk mengikis ruang gerak.

“Bisa, gak, dek, sehariii aja, jadi manusia normal gitu,” gerutu sang kakak.

Wajah Jaemin masih kental akan rasa kantuk. Rambut hitamnya berantakan, mata bulatnya tampak sayu, dan kulitnya pucat tertimpa cahaya. Jaemin yang notabene lebih tinggi dari Jisung, lantas membuat sang empu memperluas pandangan. Detail kecil soal letak tahi lalat Jaemin di wajahnya.

Menyadari netra Jisung yang memutus kontak, Jaemin langsung mendengkus sebelum menoyor sisi pelipis sang adik lalu berbalik untuk memanaskan air. Maka jangan tanya siapa yang memekik protes selanjutnya.

“Jadi orang, tuh, jangan ringan tangan. Dikit-dikit noyor, dikit-dikit pukul, gak jelas.”

“Sadar diri, ya. Emang tangan kamu gak ringan, tuh, cuci tangan sama gedor-gedor pintu.”

Jisung hanya memeletkan lidah. Ekspresinya—duh, Jaemin jadi ingin menoyornya lagi.

Akan tetapi, niatnya tersebut tidak terlaksana saat suara langkah terdengar dari sayap kiri. Sandal rumah yang berinteraksi dengan lantai menimbulkan suara tak-tak halus. Jaemin sontak menoleh, menemukan sang ayah yang sama masih dibalut piyama tampak menggeleng keheranan. Di tempat, Jisung hanya tersenyum sebelum membawakan beliau beberapa potong buah dari kulkas.

Tiba-tiba saja suasana tenang melingkupi mereka di bawah naungan langit-langit dapur yang berwarna putih.

Jaemin dan Jisung kini sudah duduk akur menunggu Ayah mereka membuat sarapan. Tidak berselang lama, sarapan sudah dihidangkan di atas meja. Setelah ayah memimpin doa, ketiganya makan bersama kesibukan tangan pada sumpit.

Jisung menjadi yang terakhir selesai, demikian ia memenuhi tugasnya untuk mencuci piring dan membersihkan meja. Kala punggung Ayah pergi meninggalkan dapur, Jaemin langsung mengambil kesempatan untuk mencubit pipi sang adik. Jisung hampir menjatuhkan piring karena terkejut, tetapi ia tidak bisa melakukan apa pun karena kedua tangannya penuh sabun. Tawa keras Jaemin lantas menggema seantero rumah.

NORTH POLE - JaemsungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang