Ruangan dekat gudang di lantai satu jarang digunakan. Selain karena pencahayaannya yang kurang, ukurannya yang pas-pas-an juga membuat anak-anak keluarga Na bertanya-tanya eksistensi peran ruangan tersebut. Di dalamnya ada meja yang dipepet ke dinding dan satu kursi kayu. Ada sakelar kontak juga. Satu-satunya orang yang pernah meninggalkan jejak sekaligus sang pengusul adalah Mama. Beliau rutin menggunakannya setelah ibadah sore.
Namun, hari ini, anak keluarga Na berhasil memutar kunci pintu. Berbekal pertikaian di kantin, sesampainya di rumah, Jaemin langsung mengadakan rapat dadakan bersama sang adik. Dari dapur, Bibi Lena melirik punggung keduanya dengan penasaran. Pasalnya, tawaran jus ditolak tanpa jeda.
Jaemin duduk di bibir meja, sedang Jisung duduk di kursi. Lampunya yang temaram membuat ruangan tersebut seketika berubah menjadi kotak introgasi sederhana.
Sebelumnya Jaemin sudah membujuk Jisung untuk berbicara selama perjalanan pulang. Akan tetapi, yang termuda tampaknya enggan membuka mulut sehingga terus menghadap jendela. Tautan tangan mereka terjalin seperti biasa, meski yang Jaemin rasakan hanyalah genggaman hampa. Namun, Jaemin tetap beruntung karena Jisung tidak memberontak saat diseret ke dalam ruangan.
“Kita mau diem-dieman aja, ni?” Entah mengapa, kental tantangan dalam intonasi Jaemin.
Mata Jisung bergulir, beralih dari lantai menuju tas sang kakak yang terdampar di meja.
“Na Jisung,” tekan Jaemin.
Jisung tampaknya memiliki konflik dengan dirinya sendiri, sebab anak itu memejamkan mata seraya menggigit bibirnya dengan keras. Ujung kakinya membuat ketukan gusar di lantai. Dahinya pun terlihat berkerut di antara surai poninya yang berantakan. Jaemin tiba-tiba menjadi tidak tega. Bagaimana pun, setelah ia pikirkan di sepanjang akhir jam pembelajaran, amarah Jisung bukanlah tanpa alasan. Jisung tidak suka menjadi sosok yang tidak tahu, dan Jaemin masih bisa menjalin rahasia di balik punggungnya. Astaga.
“Adek pasti kesel banget, ya.”
Kemudian, seperti garis yang beranjak turun pada grafik, suara Jaemin melembut hingga berakhir lirih. Rasa bersalahnya bersinergi dengan kedua bahu yang luruh dari ketegapan menghakimi.
“Adek coba liat kakak dulu, dong.”
Jisung menyanggupi.
Seketika semuanya menjadi sangat jelas. Jaemin tidak melihat apa pun selain seorang anak belia dengan keluasan hati untuk melindungi seseorang yang ia sayang. Perasaan itu beriak di bawah tatapannya yang menyoroti Jaemin dalam berbagai lapisan; khawatir, kesal, takut, amarah, frustasi. Gigitan pada bibir sang empu tidak berakhir. Jaemin yang menemukan dirinya kehilangan kontrol saat menyelami sang adik lebih dalam, dan menyadari bahwa tangis Jisung sudah muncul di permukaan.
“Astaga, Jisung,” Jaemin langsung meraih Jisung untuk mendekapnya dengan erat.
“Jangan nangis, aaaaa,” Jaemin tanpa sadar menggeleng saat menyadari tangis sang adik berubah menjadi isakan. Getaran, basah, hangat pada ceruk lehernya. Dalam sekejap, Jaemin tersedak emosinya sendiri.
“Jisung—-hiks.”
Maka biarlah tali itu putus; warna biru yang kental.
Jaemin tidak tahu apa yang dilalui oleh Jisung, tetapi ia yakin bahwa itu sangat berat hingga sang adik memilih untuk ekspresif setelah beberapa waktu terakhir. Jisung bukan berarti tidak cengeng, dia sering menangis, tetapi secara bersamaan dia tidak suka menangis di depan orang lain. Jisung, dengan segala keunikannya, hanya akan melapor pada ayah bahwa ia sudah menangis tiga kali. Alasannya? Tidak ada yang tahu. Jisung merahasiakannya. Ini membuat Jaemin merasa bersalah.
Setelah terdiam dalam posisi demikian selama kurang lebih sepuluh menit, Jisung akhirnya mulai tenang seiring suara tangisnya yang mengecil.
“Ah, memalukan,” gumamnya merajuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
NORTH POLE - Jaemsung
FanfictionJaemin ingin pergi ke Kutub Utara. Ia ingin melihat Jisung berenang bersama Ruru, seperti apa yang dilihat oleh sang adik dalam mimpinya. ㅡSunday, 221009