Pengerat

284 29 1
                                    

Jaemin tengah mimpi indah. Dia berada di lapangan luas sedang menjadi pemain sepak bola. Kakinya bergerak begitu lincah membawa benda bundar di antara sepatu berwarna emas yang ia kenakan. Sorak penonton menjadi latar belakang yang dramatis saat Jaemin berhasil tiba di garda depan. Dengan cekatan, pria itu menendang bola, mengerahkan seluruh kemampuannya pada sudut yang dilengahi oleh kiper lawan.

Alih-alih peluit gol, Jaemin justru mendengar—-blukblukblukbluk.

Sekejap, pria itu terjaga dengan mata terbuka lebar. Tanpa mengindahkan tubuhnya yang masih merengek ingin terlelap, sang empu langsung bangkit dan pergi keluar ruangan. Emosinya melesat berada di puncak, mulut sudah siap menumpahi Jisung dengan antrian umpatan.

“Udah berapa kali Kakak bilang jangan cuci—-”

Jaemin berhenti berbicara. Netranya mengerjap dalam tegun kala mendapati punggung wanita di wastafel samping kamarnya. Suaranya yang memecahkan keheningan telak menarik perhatian sehingga sosok tersebut langsung mematikan air dan menoleh padanya. Jaemin yang dihadiahi tatapan bersalah milik Bibi Rena.

“Maafkan Bibi. Sepertinya Bibi melupakan banyak hal. Jaemin tidak suka seseorang mencuci tangan di sini, ya,” ujar beliau.

Bibi Rena tidak muda, pun tidak terlalu tua. Wanita itu berada dalam masa pertengahan, atau Jaemin bisa bilang peralihan? Omong-omong, bibi Rena adalah asisten rumah tangga keluarga Na. Satu bulan yang lalu, dia mengajukan cuti pulang untuk menghabiskan waktu bersama cucu pertamanya di Busan. Ayah tidak keberatan sama sekali, justru memberikan dukungan penuh—-biaya akomodasi dan segala macam. Demikian hari-hari berikutnya Jaemin isi tanpa eksistensi asisten rumah tangga. Jaemin tidak tahu jika waktu satu bulan dapat berjalan secepat ini.

“Tidak apa-apa, Bibi. Aku kira Bibi itu Jisung. Jisung memang suka jail.”

Bibi Rena menimpali dengan senyuman hangat. Beliau kemudian menuntun Jaemin ke meja makan dan memberikannya suguhan ringan—-potongan buah dan segelas susu hangat. Ventilasi dapur masih menunjukkan warna semu kebiruan, jam dinding memberitahu semua orang pukul setengah enam pagi. Itu berarti Jaemin masih memiliki banyak waktu karena kelas dimulai pukul delapan.

“Saat Bibi merawat cucu Bibi, rasa-rasanya seperti mengingat kembali saat merawat kalian ketika masih kecil. Kau dan Jisung menggemaskan sekali.”

Jaemin menggigit buah kiwinya. “Pasti lucuan aku, ‘kan?”

Wanita itu mengangguk-angguk, tiba-tiba merasa familiar dengan suasana di antara mereka. Lambat laun Bibi Rena mulai mengingat kembali rutinitasnya, menatap Jaemin sembari meloloskan sorot kehangatan lain bersama segenap jenaka. “Tapi Jisung juga lucu, dia sangat mungil.”

“Mungil-mungil gitu kalo tenaganya kayak banteng mah gak lucu.”

Seketika saja Jaemin teringat sesuatu. Remaja itu kemudian menjadi menggebu-gebu sehingga tanpa sadar mengetuk-ngetuk tumit pada lantai; antusiasme. “Tepat di hari setelah Bibi berangkat cuti, aku sama Jisung jatuhin lemari koleksi parfum punya Ayah.”

“Astaga.”

“Coba tebak apa yang Ayah lakukan.” Jaemin tersenyum kelewat lebar tanpa dosa.

Bibi Rena sebenarnya tidak terpikirkan hukuman apa pun, jadi ia hanya berkata asal. “Memotong uang jajan kalian?”

Namun, Jaemin langsung berseru keras. “Lebih buruk! Aku sama Jisung dibebani tugas bersih-bersih selama Bibi pergi.” Ekspresinya berubah seperti seekor anak anjing yang sudah ditelantarkan tuannya. “Jadi, setiap pulang sekolah, kita bagi tugas. Jisung bersihin lantai atas, aku lantai bawah. Ayah gak mau tahu, pokoknya pas beliau pulang, semuanya harus udah bersih.” Tidak lupa dengan rengutan dan bibir yang mengerucut.

NORTH POLE - JaemsungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang