Jisung tidak melepaskan Jungwon dengan mudah. Begitu pun Jungwon yang memilih berterus terang. Maka ketika Jinae pamit lebih dulu, keduanya tetap berada di kafe saling berbagi cerita. Jisung lebih tepatnya.
“Kak Jaemin pernah ngalamin kecelakaan.”
Jungwon tampak terkejut, tidak berekspetasi terhadap percakapan yang Jisung suguhkan. Kedua bahunya tanpa sadar meluruh hingga menempel pada badan sofa. Jisung mengalihkan pandangan, matanya bergerak tidak fokus mengurai isi ruangan kafe. Tangan remaja lelaki itu meremas paus pemberian Jinae.
“Kecelakaan itu merenggut nyawa Mama,” Jisung menatap Jungwon. Jungwon langsung menggeleng. “Jangan, Jisung. Kalo kamu gak nyaman, jangan dipaksa cerita.”
Secara bersamaan pesanan kedua mereka tiba. Pelayan tersebut menaruh dua gelas minuman di antara kekacauan perlengkapan merajut. Jisung menggumamkan terima kasih lalu menyeruput minumannya dengan tenang sementara Jungwon masih memperhatikan sang teman sembari mengaduk-ngaduk dasar gelas yang berisi cokelat menggunakan sedotan.
“Kok suasana jadi melow gini, sih,” ungkap Jisung.
Rahang Jungwon spontan jatuh. “Ji...”
Jisung lantas tertawa kecil. Meski gelombang sentimen telah terbentuk, bahasa tubuhnya jauh lebih rileks. Dia pun bersandar lalu memperlihatkan sorot jenaka yang semu, sejenak memberi ruang lega di hati Jungwon yang diam-diam merasa khawatir. Mereka baru berteman selama beberapa bulan dan Jisung tidak pernah mengungkit apa pun soal keluarganya. Ini adalah yang pertama dan Jungwon bahkan belum siap dengan kejutan bahwa sang teman sudah kehilangan sosok ibu.
“Kak Jaemin selamat, tapi lututnya cedera berat, jadi Kak Jaemin gak bisa jalan selama berbulan-bulan. Sampai sekarang pun, dia masih harus rutin rehabilitasi.”
Paus milik Jinae sudah terdampar di bibir meja.
“Gak cuman itu. Kak Jaemin juga ngalamin trauma. Dia bahkan gak kuat lihat mobil awalnya.”
Jungwon menahan napas. Dia sudah bisa membayangkan betapa sulitnya kondisi tersebut.
“Setelah perawatan intens, sekarang Kak Jaemin bisa naik mobil lagi, kok. Cuman,” mata Jisung bergulir pada tangan Jungwon yang bertaut tidak nyaman di atas meja. Kedua sudut bibirnya terangkat kecil begitu sang teman tersentak ketika Jisung menggenggam tangannya—-merematnya. “Dia harus pegangan tangan sama aku.”
“Kalo gak pegangan tangan, Kak Jaemin bisa cemas banget sampai keringat dingin, bahkan nangis. Tapi kalo nangis udah jarang, sih. Gengsi dia besar soalnya.”
Jungwon tidak ikut tertawa saat Jisung terbahak. Menyadari hal tersebut, Jisung sontak melempar tangan Jungwon sembari mengetuk tumitnya ke lantai dengan jengah. “Kamu Feeling, ya.”
Jungwon menatap Jisung seakan sang teman menumbuhkan tanduk di kepalanya. “Jiiii, yang bener aja!? Ceritanya tragis, masa aku ketawa?”
“Tapi aku masih penasaran, deh. Kok kamu bisa kepikiran kalo aku mau kasih hasil rajutan aku ke Kak Jaemin?”
Bibir Jungwon membentuk garis lurus. Sentuhan kulit Jisung di atas tangannya masih membekas, bersamaan dengan rajut memori di dalam kepala. Remaja itu menatap cokelat yang kembali menumpuk di dasar gelas. Pertimbangan melintas pada sorot mata Jungwon.
“Sekarang aku ngerti kenapa seorang kakak yang baik itu selalu pengen lindungin adiknya.”
“Hah?”
Kebingungan Jisung tertimpa keluwesan Jungwon. “Aku pernah ngobrol sama Kak Jaemin.”
~*~*~
KAMU SEDANG MEMBACA
NORTH POLE - Jaemsung
FanfictionJaemin ingin pergi ke Kutub Utara. Ia ingin melihat Jisung berenang bersama Ruru, seperti apa yang dilihat oleh sang adik dalam mimpinya. ㅡSunday, 221009