“Kamu Karina?” tanya Yeonjun memastikan seraya memindai penampilan gadis di depannya ini dari atas hingga bawah.
Sepatu putihnya agak dekil dan celana denimnya terlihat masih baru. Mengenakan kaos polos warna abu-abu dilapis jaket varsity warna hijau putih. Rambutnya tergerai panjang dan memakai topi berwarna senada dengan jaketnya. Menggendong tas warna ungu pudar.
Mirip maba, pikirnya.
“Iya, Pak.” jawab Karina. Ia cukup tercengang karena Pak Yeonjun yang ia anggap tua bangka ternyata begini penampakannya.
Pantas saja Giselle rajin bimbingan.
Karina pun menyerahkan surat tugas bimbingannya kepada Yeonjun setelah dipersilahkan duduk. Yeonjun menelitinya sebentar kemudian mengambil buku kecil bersampul oranye dari dalam laci.
“Kamu ke mana saja selama ini, hmm?” tanyanya seraya menuliskan nama Karina beserta NIM-nya di sampul depan buku kecil tersebut. “Saya itu nyariin kamu lho!”
“Ciyeee... Nyariin saya, ciyeee...”
Pergerakan tangan Yeonjun seketika terhenti mendengar gumaman pelan bernada godaan barusan. Ia mendongak dan melihat Karina sedang menunduk sambil cengengesan, tersipu karena merasa si paling dicari.
“Beda konteks! Saya nyariin kamu itu bukan karena naksir, jadi jangan geer!”
“Lho?!” di luar dugaan, Karina juga nampak kaget sekali. “Jadi Bapak dengar saya tadi?!”
“Rungu saya masih berfungsi dengan baik, Karina. Lagipula jelas saja saya nyari kamu. Kamu kan mahasiswi bimbingan saya, sudah tiga minggu buron pula. Saya bukan tipe orang yang akan lepas tanggung jawab begitu saja.”
“Iya maaf, Pak. Saya itu tadi cuma bercanda. Serius amat.”
Yeonjun melanjutkan tulisannya. Terlepas dari Karina yang memang bercanda atau bukan, sebenarnya ia sudah sering digoda-goda begitu oleh para mahasiswinya sendiri jika di kelas.
Mungkin karena usianya yang masih muda ditambah statusnya yang belum menikah. Sehingga segelintir anak didiknya kadang-kadang bersikap cukup ‘berani’ padanya.
Karina mencondongkan tubuhnya kepo, dan membaca bahwa buku bersampul oranye yang ditulis Yeonjun itu adalah buku absensi bimbingan untuknya.
“Saya ada aja kok, Pak. Di rumah.” celetuknya tiba-tiba menjawab pertanyaan dosennya di awal.
“Hmm... Begitu ya?” Yeonjun mengangguk-anggukan kepalanya lalu menadahkan tangan kanannya meminta sesuatu. “Jadi mana?”
Karina blank. “Apanya?”
“Progres tugas akhir kamu sudah sampai mana?”
“Masih mentok di Bab 1, Pak.”
“Sini coba saya lihat.”
“Maksud saya mentok di Bab 1 itu emang saya baru ngetik ‘Bab 1’ doang, Pak. Belum ada ke bawahnya.”
Yeonjun melongo. What?
“Bapak pernah nonton Spongebob yang episode ngerjain essay itu kan? Yang cuma ada tulisan ‘THE’ doang di kertasnya? Nah, saya juga kurang lebih gitu, Pak.”
Astaga!
Speechless, lelaki itupun menyimpan kembali tangannya ke atas meja. Padahal tadi ia sudah sempat positive thinking, dan menganggap hilangnya Karina selama ini karena terlalu sibuk penelitian. Supaya sekalinya datang bimbingan langsung menyerahkan sebundel proposal dan maju untuk seminar.
“Kamu serius belum mengerjakan apapun, Karina?”
“Serius, Pak. Ngapain saya bohong? Itu sebabnya selama ini saya gak pernah nemuin Bapak. Emangnya saya mau ngapain sih nemuin Bapak kalau saya aja belum bikin apa-apa?”
Benar-benar zonk ternyata. Yeonjun ekspektasinya ketinggian.
“Karina, saya gak mau tahu pokoknya kamu harus segera menggarap semuanya. Minimal Bab 1 dulu juga gak apa-apa. Sekarang hari kamis kan? Saya tunggu kamu di hari senin. Bab 1 harus sudah jadi pokoknya.”
Karina protes tak terima. “Lho? Ya gak bisa gitu dong, Pak! Kok Bapak enteng banget sih nyuruh-nyuruh saya kayak gitu? Dikira bikin Bab 1 itu gampang apa?”
Sejujurnya Yeonjun agak terkejut melihat responnya yang ngegas. “Gampang. Latar belakang itu isinya alasan kamu mengangkat tema serta judul yang kamu pilih, ke bawahnya tinggal menyesuaikan. Kalau kamu mau berusaha gak ada yang gak mungkin. Teman-teman kamu saja bisa, masa kamu nggak?”
“Tapi, Pak...”
“Kamu bikin sebisanya dulu, nanti akan saya revisi. Kan seperti itulah gunanya bimbingan. Oke? Siap ya? Bisa ya? Bisalah, masa nggak? Ini buku absensi bimbingan kamu, sudah saya kasih tandatangan satu.”
Karina menerimanya. Setelah mengucapkan terima kasih dengan cukup ketus, dia langsung berjingkat dari duduknya dan meninggalkan ruangan. Yeonjun hanya menggeleng pelan melihat kelakuannya.
“Mahasiswa malas seperti itu memang kadang harus dipaksa, Pak. Kalau dibiarkan takutnya dia keenakan dan malah kebablasan nyampe batas DO.” ucap Sakura yang tak sengaja menguping pembicaraan mereka.
Yeonjun tersenyum kecil. “Iya, Bu. Maka dari itu tadi saya memaksa Karina. Dari semua mahasiswa pegangan saya, hanya dia yang paling ketinggalan jauh.”
“Semangat ya, Pak.”
“Iya, Bu. Terima kasih.”
.
.
.
Dengan wajah terlipat-lipat, kini Karina kembali lagi ke habitat awalnya dengan Chaewon tadi. Duduk di trotoar jalan di bawah pohon mahoni. Soobin dan Beomgyu ada di sana, kedua lelaki itu baru kelar bimbingan juga rupanya.
“Lo semua tahu gak sih? Pak Yeonjun itu ternyata rese banget orangnya!”
Karina mulai curhat tentang pertemuannya dengan sang dosen tadi. Dari awal sampai akhir pokoknya lengkap ia ceritakan, dan ketiga kawannya memberikan respon yang beragam.
“Lo jangan ngeciye-ciyein dosen kayak gitulah, Rin. Gak sopan tahu. Walaupun kata lo Pak Yeonjun itu masih muda banget, tapi bukan berarti lo bisa seenaknya sama dia. Dia bukan temen lo!” tegas Chaewon.
Beomgyu menjentikkan jarinya. “Nah, bener itu. Kalau kata Bu Lisa sih ‘know your boundaries’ ceunah, Rin!”
Soobin ikut berkomentar. “Menurut gue, Pak Yeonjun itu bagus lho maksa-maksa lo buat ngerjain Bab 1 kayak gitu. Itu artinya dia peduli dan gak bodo ametan sama mahasiswanya. Dia mau ngebantu dan memperjuangkan kelulusan lo.”
Beomgyu menambahkan. “Lagian orang males kayak lo emang kudu dipaksa sih.”
Karina mendengus kesal. “Lo bertiga kenapa malah jadi belain Pak Yeonjun sih?! Bikin gue tambah bete aja!”
“Kalian lagi ngomongin saya?”
.
.
.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Mas Dosen || YeonRina [SLOW UPDATE]
Romance[YEONJUN x KARINA] Menurut Karina, Yeonjun itu cerewet dan banyak aturan. Sedangkan menurut Yeonjun, Karina itu ceplas-ceplos dan menyebalkan. Tapi ujung-ujungnya mereka menikah. "Bapak itu menghambat saya!" "Bapak, bapak! Saya bukan bapak kamu, Kar...