Chapter 5

40 8 0
                                    

Hetalia belongs to Himaruya Hidekaz, saya tidak memiliki dan mengambil keuntungan apapun dari fic ini.

Warn: as always. 

*****************************

Mobil polisi dan ambulans mengerubungi danau tempat mayat Emilia ditemukan. Sirine menyala, lampu biru dan merah berkedip-kedip, membuat sore yang oranye dan kuning berubah suasana. Ditambah garis polisi, orang-orang berseragam, bau mayat yang masih terbayang, serta horornya wajah Emilia yang menghantui bayang-bayang kedua orang itu. 

Emil terguncang mentalnya. Sedari tadi badannya gemetar tanpa henti, bibirnya terkadang menggumamkan nama saudarinya. Sesekali dia terisak, berteriak, lalu tiba-tiba diam. Kejiwaannya terganggu sampai-sampai polisi menunda untuk menginterogasinya. Tak ada bedanya dengan (Name). Gadis itu diam, tak percaya bahwa sahabatnya sudah meninggal. Berkali-kali dia membuka kain yang menyelimuti mayat Emilia, dan wajah Emilia yang terpampang di sana membuat (Name) semakin gila. Berkali-kali (Name) menghirup dan membuang napas, berusaha menerima kenyataan untuk tidak membuka kantung mayat karena tak mau mengeluarkan isi perutnya lagi. 

Seseorang yang menggunakan mantel coklat panjang menghampiri (Name). Dia menatap kosong mata hijau orang itu, ketika orang itu mengeluarkan kartu pengenalnya. 

"Perkenalkan, saya Arthur Kirkland. Saya detektif di kepolisian sini," ucap pemuda itu. Bibir (Name) hanya bergumam tidak jelas, pandangannya tetap terpaku kepada si detektif meskipun kosong. 

Arthur berjongkok, menyejajarkan pandangannya dengan (Name). "Anda (Name) (Last Name), kan? Anda yang menemukan mayat Nona Emilia?" 

"Panggil saya (Name) saja," pinta (Name) dengan suara datar. 

"Baiklah, Nona (Name)." Arthur mencatat sesuatu di buku kecilnya. "Apa Anda yang menemukan mayat Nona Emilia?" 

(Name) mengangguk pelan. Arthur menepuk pundaknya. 

"Kalau begitu, apa Anda berkenan untuk diinterogasi nanti terkait dengan penemuan mayat Nona Emilia?" tanya Arthur. 

(Name) mengangguk lagi. "Asal bukan sekarang ... mungkin nanti...." 

Arthur menghela napas lalu melepaskan genggamannya dari pundak (Name). "Baiklah, Nona (Name), apa Anda mau pulang? Mau saya antarkan? Barangkali Anda bisa menunjukkan di mana ruma-" 

"Tidak, terimakasih. Saya bisa pulang sendiri." (Name) menggeleng. Pandangannya menunduk menatap ujung sepatu. 

Arthur terdiam sejenak, lalu berkata, "Baiklah jika Anda bersikeras. Namun, saya tidak bisa membiarkan Anda begi-" 

"Saya tidak apa-apa, Tuan Detektif. Saya bisa pulang sendiri." (Name) berjalan terhuyung-huyung meninggalkan detektif dan mobil polisi. Arthur terdiam, menatap punggung (Name) yang semakin menjauh. Sementara itu, (Name) berharap dia tidak pingsan di tengah jalan. 

*********************

(Name) mengunci pintu lalu membaringkan dirinya di sofa. Gadis itu menangis tersedu-sedu, berusaha meredam tangisan supaya tidak menganggu tetangga. Badannya gemetar, air mata mengalir deras hingga menembus sofa. Dia menatap benci tembok yang menjadi pemisah antara dirinya dan Oliver, lalu bangkit dan mengacungkan jari tengah pada benda mati itu. Kemudian dia menangis lagi--- kali ini dia menjambak rambutnya dan berteriak tanpa suara. 

Perasaannya campur aduk. Dia tak mengira Emilia akan menjadi korban Oliver, setelah wanita-wanita lainnya. (Name) ingat, dia belum menjelaskan kecurigaannya pada Oliver kepada Emilia. Seandainya dia menjelaskannya, Emilia pasti akan berpikir dua kali untuk mengikuti les masak Oliver. Emilia juga tak memberitahu hal ini. (Name) merasa menjadi sahabat yang gagal, dan hal itu membuat perasaannya semakin terpuruk. 

隣 の 人 || 2p!England x ReadersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang