Part 6

2.2K 212 70
                                    

🖤Happy Reading🖤
•••

Ren menciumnya.

Remasan Gia pada pinggangnya sendiri semakin menguat ketika ia sadar bahwa Ren, kakak tingkat dengan pesona paling tinggi itu sedang menciumnya di belakang mobil milik cowok itu.

Gia merasa kakinya tak memiliki tumpuan, cewek itu lemas. Seakan keterdiamannya selama beberapa menit ini adalah upaya untuk mengumpulkan kewarasan Gia, ia langsung mendorong kencang dada Ren sehingga cowok dengan tinggi diatas rata–rata itu mundur ke belakang.

"Lo gila?!" Gia menatap sengit, tangan kanannya ia gunakan untuk menyeka sisa–sisa ciuman mereka tadi di bibirnya.

Ren menatap Gia santai seolah tidak melakukan suatu hal besar, seolah ciuman itu bukanlah sesuatu yang patut Ren apresiasi. "Gue bilang gue bisa bantu lo lepas dari Dave," ujar Ren setelah saling menatap beberapa saat dengan Gia.

Gia menggeleng lalu membuang pandangannya ke arah lain. "Gue nggak ngerti maksud lo apa," jawab Gia.

"Lo tahu persis apa yang gue omongin, Gianna." Ren meletakan kedua tangannya pada saku celana, dengan caranya berdiri menjulang tinggi di depan Gia berjarak terlampau dekat membuat Gia sedikit nervous.

Gia menggeleng lagi, kali ini semakin keras. "Gue bener–bener nggak ngerti maksud lo apa kak. Lepasin gue dari Dave? Memangnya apa yang lo tahu soal gue sama Dave?" Gia bertanya dengan suara serak. Cewek itu berusaha keras meredam gemetar yang kian merambat ke pita suaranya.

"Soal video bokep lo sama Dave yang di simpen di hp dia?"

Gia refleks mundur satu langkah sehingga bagian belakangnya terbentur mobil Ren. Pita suara Gia seolah rusak mendadak, ia bungkam. Hanya pandangannya yang menyiratkan pada Ren bahwa segala yang Ren katakan benar.

"Gue salah?" Ren bertanya santai, seolah pernyataan yang baru saja ia lontarkan beberapa detik yang lalu bukan suatu hal yang besar.

Ren maju mendekat sampai di titik dimana jarak mereka hanya berjarak beberapa inci.

"Gue cuma mau bantu lo—"

"Dengan ikhlas?" Gia menjawab, kedua alis cewek itu terangkat meski nanar di bola matanya tak dapat disembunyikan. "Lo yakin lo nggak minta imbalan apapun dalam tawaran bantuan lo itu?" Gia melanjutkan lagi, sudut bibirnya terangkat. Senyum miris lebih cocok untuk menggambarkan raut wajah Gia saat ini.

Jantung Gia berdegup kencang, ia tahu ia telah lancang. Tapi bukankah wajar mengungkapkan segala pertanyaan yang membanjiri kepalanya sejak satu pesan singkat yang menawarkan bantuan itu masuk ke dalam ponselnya?

Bukankah benar bahwa tidak ada yg gratis di muka bumi ini?

Keterdiaman Ren menjawab segala pertanyaan yang berkecamuk di benak Gia bahwa cowok itu tidak mungkin tidak menginginkan sesuatu.

Ren tersenyum, senyum paling lebar yang pernah Gia lihat dari cowok itu sejak hari pertama Gia menjalani pendidikan di kampus ini.

"Gue nggak minta imbalan apapun," sahut Ren singkat. "Tapi gue nggak nolak kalau lo mau bayar gue atas bantuan yang gue tawarin," lanjutnya lagi disertai gelakan kecil. Ren mengeluarkan sebatang rokok, membakar ujungnya lalu menghisap di depan Gia.

Gia masih waras untuk meyakini dirinya sendiri bahwa Ren bukanlah sosok yang baik untuk menjadi pelindungnya meskipun cowok itu berdiri dengan gagah disampingnya.

Ponsel di saku celana Gia bergetar membuat lamunannya buyar seketika.

Gia menghela napas sebelum menyunggingkan senyum tipis pada Ren. "Nggak, makasih tawarannya. Gue nyaman sama hidup gue yang sekarang," ujarnya singkat lalu melangkah meninggalkan Ren dengan tetap membiarkan ponselnya berdering, tanpa mengangkat pun Gia tahu siapa yang menghubunginya saat ini.

INNEFABLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang