Mayat-Mayat Menyebalkan

13 3 0
                                    

Sebuah kisah tentang nyawa dan kereta api...

°•°•°•°•°•°•°•°

Lantunan lembut nada gitar dari sebuah speaker bergema ke seluruh ruangan ditemani sepinya jalan dan rintik hujan. Elias duduk di sebuah kafe membaca berita dari ponselnya. Elias hanya bisa menghela napas lelah karena berita hari ini terjadi di tempatnya bekerja, stasiun kereta api bawah tanah London, Inggris. Elias adalah seorang konduktor muda di sana dan hari ini keberangkatan sebuah kereta harus tertunda.

'Tertundanya London Underground Train Menuju Brighton Hari Ini' judul artikel berita itu terpampang di layar putih ponsel Elias. Kereta api tersebut ditunda selama satu jam dan Elias melihat dengan jelas wajah-wajah kesal para penumpang. Beberapa dari mereka terlihat santai, bersabar menunggu staf stasiun untuk menyelesaikan apa yang menjadi masalah kereta, tetapi kebanyakan dari mereka bahkan menyumpah serapah, mengutuk apa pun itu yang membuat mereka harus menunggu dan terlambat ke Brighton.

Elias menutup laman berita itu tanpa membacanya sampai selesai lantas mematikan ponselnya dan menaruhnya di atas meja. Elias melihat jam tangan digitalnya, pukul 5:38. Dia mengusap matanya yang terasa berat mencoba melawan kantuk dan penat dari keributan di stasiun hari ini. Sahabat lamanya, Parwez menelpon dan mengajaknya untuk minum kopi bersama di kafe dekat tempatnya bekerja, sebuah apotek yang buka 24 jam. Elias menerima ajakannya tanpa berpikir dua kali.

Sekarang di sinilah Elias duduk di samping jendela besar kafe menunggu Parwez mengambil pesanan mereka berdua. Elias menoleh kebelakangnya dan melihat Parwez mengobrol ramah dengan sang barista sambil tersenyum lebar seakan-akan mereka teman lama yang belum bertemu selama bertahun-tahun. Begitulah Parwez, bisa berteman dengan siapa saja dan dimana saja.

Beberapa menit kemudian, Parwez pun duduk di depan Elias dengan dua cangkir sterofom di tangan.

"Satu kopi hitam tanpa gula," ucap Parwez memberikan salah satu cangkir itu pada Elias. Elias menerima cangkir itu tanpa berkata apa-apa dan mulai menyesap kopinya.

"Apa kau sudah lihat berita hari ini?" tanya Elias.

Parwez menatapnya bingung. "Berita yang mana? ada banyak berita setiap hari, Elias. BBC atau CNN?" Parwez balik bertanya.

"Satu lagi berita soal bunuh diri di rel kereta," jawab Elias menatap keluar jendela.

"Ah masa? Lagi?" Parwez terlihat terkejut.

"Ya, sayang sekali, mereka masih remaja," balas Elias dengan lesu.

"Maksudmu 'mereka'?"

"Ada dua orang, Parwez. Sepasang kakak beradik yang memutuskan untuk mati bersama."

Parwez menatap Elias dengan iba. Dia tahu betul bagaimana perasaan sahabatnya itu soal orang-orang yang mengakhiri hidupnya sendiri. Parwez ingat pertama kali Elias harus menghadapi situasi serupa. Selama seminggu penuh Elias tak tertawa apalagi tersenyum. Dia juga menyempatkan diri untuk menghadiri pemakaman sang korban dan memberikan seikat bunga pada keluarganya.

"Saya turut berduka," ucap Elias menyalami saudara korban. Elias bahkan sempat mengobrol dengan ayah sang korban. Dia mendengarkan dengan sabar saat pria tua itu bercerita tentang putranya dan semua prestasinya yang membanggakan.

Hujan menderas, para pejalan kaki segera masuk ke kafe untuk berteduh. Parwez mengancing jaketnya agar tak kedinginan dan Elias tetap menatap keluar jendela.

Langit Abu-Abu [Kumpulan Cerpen]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang