Sebuah kisah tentang pelarian dan arti bahagia....
°•°•°•°•°•°•°
Bus tua itu melenggang pergi meninggalkan asap hitam menyesakkan napas, menurunkan Lais di sebuah halte kumuh. Remaja berwajah kusam itu menyeringai, senang akan keberhasilannya mencopet sebuah dompet tebal dari salah satu penumpang bus yang tertidur. Lais pun mengeluarkan dompet itu dari balik jaketnya dan mulai menghitung uang yang di dapatnya. Puas dengan jumlahnya, Lais membuang sembarangan dompet itu di pinggir jalan, mengantongi segulung uang berwarna biru dan berjalan pergi.
Matahari bersinar terik menyengat kulit dengan langit biru tanpa awan membuat Lais berkeringat di balik jaketnya yang compang-camping. Lais memperbaiki posisi ranselnya dan terus berjalan. Orang-orang sibuk berlalu-lalang, mulai dari yang mengenakan jas rapi sampai remaja-remaja berseragam sekolah. Jalanan terdengar riuh dengan banyaknya orang berjalan dan sahut manyahut klakson kendaraan. Para pedagang kaki lima pun tak kalah berisik menawarkan dagangannya pada pejalan kaki yang kepanasan. Lais terus berjalan, mengabaikan bau lezat dari salah satu gerobak dagang dan perutnya yang menggerutu minta diberi makan.
Setelah mengitari suatu komplek perumahan, Lais berhenti di tempat yang telah dia datangi untuk kesekian kalinya. Lapangan luas di belakang sebuah rumah tua. Di sana, di bawah pohon rindang, duduk di atas rerumputan layu, sahabat senasibnya, Mada. Lais pun berlari menghampiri Mada dan duduk di sampingnya.
"Lais! Akhirnya sampai juga," sapa Mada menepuk pundak Lais.
"Sudah dapat berapa kau hari ini?" tanya Lais menyeringai kearah Mada.
Mada menghela napas kecewa lalu berkata, "baru 35 ribu, yang kucopet tadi kayanya pengangguran."
Lais tertawa, membuat Mada menatap kesal ke arahnya. "Idih sombong! Memangnya kau dapat berapa?" Mada balas bertanya.
Lais mengerluarkan segulung uang dari saku celananya, menunjukkan hasil jarahannya pada Mada. "Nih, Aku dapat tiga ratus ribu dari ibu-ibu menor di bus," jawab Lais.
"Widih!" Mada berujar senang. "Hebat juga kau Is," lanjutnya.
"Ya iyalah, murid Om Siel nih," ujar Lais dengan bangga.
Mereka berdua tergelak kemudian terdiam dan memandang jauh hamparan luas lapangan hijau dihadapan mereka, menonton anak-anak kecil bermain bola dengan riang. Lais menatap lesu anak-anak itu. Dua dari mereka bermain dengan masih mengenakan seragam SD, celana merah dan kemeja putih yang kotor oleh tanah.
'Mereka anak sekolah,' batin Lais, 'beruntung sekali.'
Angin sepoi-sepoi menerpa lembut wajah Lais, mendorongnya untuk bersandar pada pohon di belakangnya dan beristirahat. Mata Lais masih tertuju pada anak-anak yang sedang bermain di tengah lapangan. Lais tertawa kecil saat salah satu dari mereka tersandung dan jatuh. Mada tetap diam, menatap sendu ke arah langit cerah. Keheningan mengelilingi mereka berdua.
Beberapa saat kemudian, Mada bertanya, "Menurutmu kita bisa nggak jadi sehebat Om Siel?"
Lais memperbaiki posisi duduknya lantas terdiam sejenak. "Ya bisalah, tapi kita harus banyak operasi, pandai baca situasi, harus cepat. Jadi berpengalaman itu nggak gampang Mad," jawab Lais.
"Om Siel hebat ya, udah bertahun-tahun dikejar polisi, sekalipun belum pernah ketangkap," ucap Mada tak berpaling dari langit.
"Kan Om Siel profesional. Kita boro-boro nggak ketangkap, nyopet lima dompet sehari aja belum tentu," balas Lais.
Keheningan kembali menyelimuti Lais dan Mada. Pikiran Lais melayang pada kontrakan sederhana di mana Lais, Mada, dan enam anak yatim piatu lainnya tinggal bersama seorang pria paruh baya yang mereka panggil Om Siel. Om Siel yang mengklaim dirinya sebagai 'Pencopet Profesional' adalah seorang perjaka berumur empat puluh tahun yang memutuskan untuk memberi rumah pada anak-anak malang yang ditemukannya di pinggir jalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Abu-Abu [Kumpulan Cerpen]
Short Story"Buka matamu dan pandanglah dengan sendu dunia kita yang telah tertutup kabut dan abu, warna-warna pudar dan senyum-senyum palsu. Mari kita lihat ada berapa banyak cerita yang bisa kita dapat dari wajah-wajah yang menunduk lesu disekelilingmu." Kump...