Udara pedesaan memang beda, kakiku berjalan di atas bebatuan jalan pedesaan. Hari ini hari ke-2 aku hidup menjadi warga desa, sebenarnya dulu aku anak desa tapi sejak pindah ke kota jadi kebawa budaya kota. Mataku menatap lurus sawah luas di depan sana, dihiasi dengan orang- orangan sawah yang sudah lengkap dengan kaos bolong bolong, kata kakekku sih buat nakutin burung.Aku berjalan ke arah gubuk kecil hampir rubuh di sebrang sana, dulu di sanalah aku menikmati waktu pulang sekolah, memakan sisa bekal pagi yang nenekku buatkan, aku rindu. Bibirku tersenyum mengingatnya. Aku nyaman disini, bahkan jika disuruh memilih aku lebih memilih tinggal disini dari pada di kota, disana tidak ada sawah lebar, hanya gedung menjulang tinggi yang hampir mencapai langit.
"Kamu ngapain kok bengong?" Nenekku tiba-tiba datang mengagetkanku, aku terlonjak kaget yang berhasil membuatnya tertawa terbahak- bahak, aku memajukan bibirku manyun.
"Lagi mikir apasi kok bengong?" Tanyanya ke dua kalinya, aku mengganti bentuk bibirku dengan senyum lebar. Aku tidak langsung menjawab, mataku aku luruskan ke depan menikmati semilir angin yang mampu menggoyangkan anak rambutku dan bergerak menutupi mataku.
"Aku kangen suasana desa nek" Ucapku akhirnya, setelah terdiam beberapa menit kata itulah yang aku lontarkan, tanpa mengganti arah pandang mataku.
Nenekku paling tau apa yang aku rasakan di rumahku sana, dia tau aku kesepian di sana, itulah alasannya mengapa nenekku selalu kekeh menyuruh aku untuk datang ketika liburan sekolah datang, tapi ayah selalu tidak ada waktu untuk sekedar mengantarkanku, aku sudah beberapa kali memaksa agar aku berangkat sendiri dan menyakinkan mereka aku bisa tapi tak ada kepercayaan sama sekali yang mereka berikah ke anak nya satu ini.
Ketika liburan sekolah datang, keluargaku pasti akan liburan entah kemana, tapi tak pernah sekalipun aku gabung, aku lebih memilih untuk jadi penjaga rumah saja, menurutku itu lebih asik dan ayah mamahku tidak pernah memaksaku buat ikut, mungkin menurut mereka keikut sertanya aku pun tidak ada gunanya bukan dan kemarin adalah pertama kalinya ada yang memaksaku untuk ikut, dan itu adik kecilku.
"Mereka masih seperti itu?" Ucap nenekku seakan tau apa yang ada dibenakku selama ini, aku menoleh menatap mata nenek,
"Ya begitulah, tak apa nek, asalkan ada nenek aku akan bisa bertahan" Ucapku riang diikuti kekehan kecil, nenekku tau ini kekehan palsu untuk menutupi lukaku selama ini.
"Hallo, lagi bahas apa si kok seru banget" Ucap kakekku yang baru saja datang, aku menggeser dudukku lebih merapat ke nenek untuk memberi tempat kakekku duduk.
"Tadi kakek denger sedikit, kamu masih diperlakukan sama Lip?" Tanya kakekku kepadaku, aku bingung menjawab apa.
Menarik nafas panjang, aku bercerita panjang lebar soal perlakuan kakakku terhadapku, aku butuh cerita, ini saatnya aku melepas semua beban ku. Air mataku tanpa sadar terlepas dari kedua mataku, hampir 2 tahun aku memendam semuanya, tak ada yang bisa menjadi tempat cerita terbaik selain mereka berdua, mereka berdua adalah definisi rumah terbaik menurutku
"Nenek, kakek kalian harus sehat. Olip ga tau harus pergi ke siapa lagi kalo kalian ga ada, kalian rumah Olip, kalian orang tua Olip, jangan tinggalin Olip ya, Olip sayang kalian" Ucapku sambil memeluk mereka berdua, mereka tersenyum haru menahan tangis, aku sudah menangis tersedu sedu sekarang ini.
(ू•ᴗ•ू❁)
"Lip, sepeda lu gimana anjir" Teriak seseorang di sebrang sana, reflek aku menjauhkan benda tipis dari telingaku, pasalnya suara teriakan itu hampir saja membuat gendang telingaku rusak.
"Astaga, bisa biasa ga si!" Ucapku tak kalah sewot, kesal sekali menghadapi manusia yang apa- apa harus di sewot in.
Suara cekikikan terdengar dari sebrang, "Sorry, sorry. Ya ini sepeda lu gimana? Kemarin ada om om bawa sepeda lu dalam keadaan rodanya copot ke bengkel bapak gua, bagaimana ceritanya tu roda sepeda bisa lepas dari tempatnya. Dan iya, tadi pagi tu om km nelpon minta tolong nyuruh anterin ke alamat lu, la kebetulan kan gua tau, tapi ini gerbang rumah lu aja ketutup kek ga kehidupan sama sekali. Dimana lu? Tumben ikut" Celoteh panjang lebar seseorang, dia Alwana, temen sekolahku. Aku bahkan tak tau laki laki yang menabrak sepedaku menaruh bengkel itu di bengkel bapaknya Alwana, bahkan setelah acara telfonan kemarin kami belum sempat telfonan lagi atau sekedar chatingan.
"Keluarga gua pergi liburan lah biasa,"
"Lah tumben lu ikut Lip, disogok apa lu?" Ucapnya memotong omonganku, aku membuang nafasku kasar, kesal karena dia memotong perkataanku yang belum juga selesai.
"Gua ga ikut, gua di rumah nenek kakek gua, dahlah bawa dulu sepeda gua ntar gua transfer duit terimakasih nya"
"Ga usah Lip, om om itu ngasih gua banyak banget, lebih dari kata cukup malahan, ga usah tambahin uda cukup kok" Ucap Alwana menolak. Aku mengiyakan saja.
Setelah acara ribut di telfon bareng Alwana, aku langsung menelfon laki laki yang entah namanya siapa itu, aku bahkan lupa untuk sekedar bertanya siapa namanya.
"Halo, Aku yang sepedanya kamu rusakin" Kataku, cowok itu tertawa mendengar ucapanku barusan.
"Kita belum kenalan ternyata ya, namaku Vee, namamu siapa?"
"Namaku Olip, to the point om, kok Om udah bayar orang buat nganter sepeda saya ke rumah, kan perjanjian saya" Celotehku
"Astaga, gua ga tua tua banget woy, dipanggil om lagi"
KAMU SEDANG MEMBACA
Middle Child
Non-FictionMiddle child, Ketika anak pertama harus kuat dan anak terakhir harus menjadi penutup yang hebat lantas bagaimana kabar anak tengah ?