Suara hujan di luar sana semakin kencang, belum ada pertanda sedikit pun tentang hujan yang akan berhenti. Kelasnya sudah bubar sejak setengah jam yang lalu, tetapi dia masih terjebak di sekolah. Teman sekelasnya juga sudah meninggalkan dia ke ruangan ekskul masing-masing, terkecuali lima siswa yang merupakan jadwal piket mereka. Tidak lama, mereka juga akan meninggalkan Nadira. Andai dia mengikuti ekstrakulikuler, mungkin saja dia tidak akan segabut ini menunggu hujan reda.
"Dira, belum pulang?" seru seorang anak laki-laki di belakangnya.
Nadira menoleh dan melihat laki-laki yang membawa gitar di pundaknya baru menutup pintu. Ternyata teman-teman yang piket sudah beranjak dari kelas, bahkan mereka terburu-buru untuk pergi ke ruangan ekskul.
"Belum nih, Ja. Kamu baru beres piket? Sekarang mau ke mana?" tanya gadis itu.
"Mau ke ruang musik, latihan genjreng sambil ngegalau. Mau ikut gak?"
Radja Adhitama, teman sekelas sekaligus sahabatnya itu menunjuk pada gitar di belakang punggung. Jika ditanya, tentu saja Nadira tidak akan menolak. Hanya saja, berduaan dengan Radja membuatnya tidak nyaman, gagal fokus. Padahal dia bisa memanfaatkan waktu untuk brainstroming atau menulis bab terbaru untuk ceritanya.
"Nadira Putri Haniah, kamu mau ikut gak? Kalau lama aku tinggal," seru Radja membuatnya makin bimbang.
Setelah memikirkannya baik-baik, Nadira mengembuskan napasnya. "Aku di sini aja deh. Mungkin bentar lagi hujannya reda, Ja."
"Oke kalau gitu."
Entah apa yang dilakukan laki-laki itu, tetapi Radja berjalan ke arah yang salah dari ruang musik. Seingatnya, ruangan musik ada di lantai dua, tetapi Radja justru berjalan ke arah kantin jurusan mereka. Itu juga hanya sebentar. Radja datang kembali dengan dua cup makanan.
"Sini duduk aja. Kamu berdiri berapa lama pun, hujan gak bakal berhenti secepat itu." Radja mengajak lagi, tetapi kali ini untuk duduk bersama. "Janji deh, aku gak bakal ganggu kamu. Cuma mau ngajak makan bakso bibi kantin."
Nadira menyipitkan matanya pada kedua cup tersebut. Radja memang tidak berbohong ketika mengangkat salah satu bakso dari cup dan memakannya. Laki-lakiå itu sadar jika Nadira menatapnya, jadi dia kembali melahap bakso dan memamerkan rasanya yang enak.
Jadi Nadira memutuskan untuk mendekat. Padahal di dalam, hatinya sudah siap memberi kabar pada jantung untuk memompa lebih kencang.
"Katanya mau ke ruang musik." Nadira melihat pada Radja yang sibuk makan, lalu kembali bertanya, "kenapa ke sini lagi?"
"Makan dulu, baru aku kasih tau alasannya," katanya sambil memberikan cup satunya pada Dira. "Aku udah minta ibu kantin ganti mie jadi bihun buat kamu. Agak pedes, tapi gak tau pas atau enggak di lidah kamu."
Gadis itu menerimanya. "Makasih. Tapi kasih tau aja. Bikin kepo tuh gak baik."
"Latihan genjreng di sini juga gak salah. Hitung-hitung latihan jadi pengamen," serunya disusul dengan tawa.
"Ja, bisa gak punya cita-cita yang normal atau tinggi dikit. Jadi idol gitu ... muka ganteng, bisa main gitar, suara bagus, masa jadi pengamen sih," omel Nadira dibalas dengan tawa dari sahabatnya itu. Dia tidak habis pikir, kenapa dari sekian ribu laki-laki yang hidup, Radja harus jadi orang pertama yang berhasil membuatnya jatuh cinta. Padahal dia tahu juga kalau Radja itu bermulut besar.
"Jadi idol itu capek, keliatannya aja mereka seneng. Pasti sebenernya capek banget, di depan kamera harus pura-pura 'everything will be okay', padahal faktanya mereka gak baik-baik aja," balas Radja.
"Iya juga, malah kalau kamu jadi idol malah mengkhawatirkan ya?" Kali ini Nadira meledek laki-laki itu.
"Kenapa? Karena gue ganteng ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Refind love
Teen Fiction"Akan kupastikan ketika kisah yang kutulis berakhir, akan kuhapus namamu dari hatiku." Tulis Nadira dalam sebuah novel yang tengah digarapnya. Dia tidak pernah ingin jatuh cinta pada Radja, sahabatnya. Namun, cinta datang dengan sendirinya. Meski di...