❣️0. Prolog❣️

88 4 0
                                    

Sekali lagi, kertas putih itu dia remas hingga tidak berbentuk. Jika dia melirik ke dalam jam, sudah dipastikan jika waktu telah berlalu sangat panjang. Sayangnya gadis itu belum juga mendapatkan ide untuk naskah yang akan ditulisnya. Frustrasi? Tentu tidak. Seorang Nadira Putri Haniah tidak mungkin untuk tidak menulis meski hanya sehari. Bahkan dia telah berdedikasi bahwa buku dan pena akan menjadi teman seumur hidupnya.

Kali ini dia beralih pada laptop dan membuka satu-satunya berkas berjudul 'dummy'. Berkas yang sebenarnya amat sering dia buka dan dia simpan naskah-naskah sempurna baginya. Tentu bagi Nadira naskah adalah anaknya. Dia sudah bersusah payah menciptakan semua itu, membaca berbagai buku fiksi yang akan menghabiskan uang jajannya, atau naskah yang membuatnya mengenal hal-hal baru. Sayangnya, naskah itu hanya berakhir di platform digital dan berkas dummy ini. Ada beberapa naskah dummy yang pernah hampir dicetak, tetapi tidak jadi karena penerbitan yang bersangkutan memiliki masalah. Untung saja dia belum tanda tangan kontrak di sana.

Melihat 28 naskah dalam berkas itu nyatanya tidak menolong. Jadi Nadira membenturkan kepalanya pelan pada meja belajar. Tidak peduli jika meja itu sudah kotor dengan berbagai kertas yang dicoret. Tidak peduli juga jika benturan yang keras akan meninggalkan jejak kemerahan di sana.

"Nyerah aja kali ya?" racaunya pelan.

"Ke mana orang yang bilang setiap naskah punya rumah, naskah dia cuma belum ketemu rumah yang tepat aja," celetuk seseorang yang baru saja masuk ke dalam kamarnya.

Nadira mengenali suara berat yang menyebalkan bagi telinganya, tetapi dia tidak mau mengangkat wajah orang itu. "Gak tau, lenyap kali, Ja."

Radja Adhitama, tetangganya sekaligus teman dekatnya di sekolah menengah, hanya tertawa pelan. Menyebalkan sekali dan memang selalu seperti itu.

"Kalau kamu datang cuma buat ngeledek aku, mending pulang deh," seru Nadira, kesal. Mana ada orang yang suka ditertawakan di saat seperti ini? Dan melihat Radja menertawakannya membuat dia makin kesal.

"Walt Disney pernah bilang, semua impian bisa jadi kenyataan jika kita sendiri punya keberanian buat ngejar itu. Dan kamu yang aku kenal adalah orang yang berani, Dira."

Radja memang menyebalkan, tetapi ucapannya benar. Mengapa Nadira harus menyerah dengan setumpuk naskah di laptopnya yang gagal mendapatkan rumah? Dia hanya perlu sabar, merevisi naskah itu dan kembali memolesnya. Jika memang tidak ada, dia hanya perlu mengulang dari nol.

"Ke toko buku yuk?" sahut Nadira tiba-tiba.

"Ayo," balas Radja langsung menyetujui. "Kebetulan hari ini lagi ada promo sampai 90%."

"SERIUS? Oke, aku rasa, aku perlu bawa tas besar. Kamu juga, Ja. Pokoknya hari ini kita harus berburu banyak buku!"

Laki-laki itu mengangguk dan Nadira tidak tahu apakah Radja tersenyum untuknya yang kembali bersemangat, atau karena formalitas. Namun, itu adalah senyuman terindah yang pernah dia lihat dari Radja.

Dan siapa sangka kutipan Walt Disney membuat sudut pandangannya pada seorang Radja Adhitama berubah drastis?

Refind loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang