Awal

9.5K 104 14
                                    

"Loh, ngopo to sore-sore wis mencu ki?" Mas Doni yang baru saja pulang kerja menyapa Santo yang sedang duduk di depan rumahnya. Kedua tangannya memegang lutut dan terlihat sangat murung.

"No meneh nesu njaluk HP, rumangsane duit ki gur kari ngiris." Mas Tarno, bapak Santo menyahut dari dalam rumah.

"Owalah, nyo tak silihi HP ku!" Doni menawarkan HP nya, tapi hanya tatapan meremehkan yang dia dapat dari Santo.

"Lha kepiye to? Iki lho nggonen!" Tawar Doni sambil berjalan mendekati Santo.

"Ora kenek dinggo main game HP mu ki Mas." Jelas ketus Santo. Memang HP Doni belum bisa digunakan untuk main game.

"Owalah, yo ojo nesu wae. Reneo!" Doni menarik tubuh Santo ke dekapannya dan memaksanya berjalan ke rumahnya. Walaupun masih sedih Santo menurut saja. Santo kelas 5 SD, tubuhnya sedikit gemuk dengan wajah bulat dan berkulit putih. Rambutnya selalu terlihat pendek dan berdiri. Hidungnya pesek dan pipinya kenyal. Mas Doni sering meremas pipinya sejak kecil karena gemas. Walaupun Santo selalu menghindar jika Mas Doni melakukan itu. Mas Doni berkulit hitam, tubuh gempal berotot tapi pendek. Rambutnya ikal dan selalu dipotong pendek karena Dia tidak nyaman jika rambutnya terkena telinganya sendiri. Wajahnya kotak, keras dan tegas. Walaupun senyum manisnya terus terlihat dari wajahnya. Umurnya yang baru masuk 20 an terlihat gagah sekali. Mas Doni lulus SD, dia bekerja sebagai buruh bangunan. Mas Doni dan Santo akrab sejak kecil. Santo menganggap Mas Doni seperti kakaknya sendiri. Walaupun mereka bertetangga, tapi jaraknya lumayan jauh. Begitulah kehidupan di pelosok desa. Rumahnya masih jarang-jarang.

***

"HP sing tok tawakke aku mane ke iso nggo main game ora?" Mas Doni mengirim pesan WhatsApp kepada teman kerjanya saat tengah malam.

"Iso, game opo wae aman." Jawab Ranto di sebrang desa sana.

"Yo sesuk gowonen!" Mas Doni ingin memberikan kejutan kepada Santo besok.

"Siap!" Ranto memberikan emot jempol.

***

"Ngejo ra leren ke neh!" Ranto menyindir Doni yang tidak berhenti melihat video panas di HP barunya saat istirahat makan.

"Mulakno gek rabi o! Gurih, percoyo aku." Mbah Sumar menambahkan.

"Andekno wingi tak tawani ngomong ra butuh. Saiki ngejo ra ucul seko tangan." Ranto membuang sisa makanan yang tidak habis.

"Lha ra butuh tenan nk wingi aku. Ra ngerti nek enek koyo nggene. Koe yo ra ngomong." Doni membela diri.

"Lha HP mu sing wingi we yo iso nggo ndelok koyo nggono kui ki." Ranto menambahkan kesal.

"Po iyo? Lha koe ra ngomong kok!" Doni masih belum mau kalah.

"Cangkemu kui! Mulakno rasah sok suci, nek awake dewe do ndelok alesane ra pingin. Mbasan ngerti tuman." Ranto terlihat sangat kesal.

"Emen . . .!!" Doni mengejek. "Ojo ngganggu neh, ki lho susune gede tenan." Doni terlihat sifat aslinya di depan nafsu.

"Ae, wis ndelok kabeh aku." Ranto pergi buang air kecil. Doni masih terlihat bernafsu melihat video panas di HP barunya. Tangannya mulai meremas kontolnya yang sudah ngaceng keras.

"Ojo ngocok saiki! Gek ayo mangkat!" Mbah Sumar melempar Doni dengan bungkus rokok.

"Owalah Mbah, nanggung!" Doni masih belum mematikan videonya.

"Nanggung kontolmu kui!" Mbah Sumar berusaha merebut HP dari tangan Doni.

"Iyo neh Mbah, ki wis tak pateni." Doni memasukkan HP ke dalam tas kecilnya. Merekapun kembali mengaduk semen dan memasang bata.

SantoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang