Setapak

136 42 167
                                    

🚪

Tante Santi berhenti di ambang pintu, saat melihatku dan Cael hendak masuk kembali ke dalam rumah. Mata gelisah itu melirikku dan Cael bergantian. Dengan tangan gemetar, Tante Santi mendekap erat bayi di dalam gendongannya.

"Aku rencananya mau ke makam Nenek sebentar. Setelah itu, aku dan Cael balik lagi ke sini." Aku menarik senyum tanggung, "nggak papa Tante?"

Tante Santi mengangguk. "Di mana makam Nenek kamu?"

"Pusara Nenek di halaman rumah. Tapi rumah Nenek dekat dari sini."

Kedua alis Tante Santi terangkat. "Oh, ya? Berarti kamu juga orang sini?"

Aku menganggukkan kepala. "Iya Tante."

Senyum kecil tertarik dari wajah tegang itu. "Suami Tante yang orang sini. Mungkin dia tahu nenekmu."

"Mungkin saja Tante."

Aku melirik Cael, lalu menyikut lengannya.

Cael membalas tatapanku. Ia berdehem pelan. "Kami permisi dulu ya Tante. Untuk saat ini, kita bisa berdoa aja sama yang Maha Kuasa. Semoga Marvel baik-baik saja," ujar Cael.

Aku sudah bilang pada Cael tadi, untuk tidak mengatakan rencana utama kami ke rumah Nenek. Jika aku mengatakan perihal pintu di rumah Nenek, aku takut nanti Tante Santi menaruh harapan.

Tante Santi tersenyum kaku, saat aku melambaikan tangan dari balik jendela mobil. Raut wajahnya masih terlihat gelisah. Tangan yang gemetar itu masih sangat erat mendekap bayi dalam gendongannya.

"Gue rasa, Tante Santi nggak segitu pedulinya dengan Marvel," ujar Cael setelah meninggalkan pekarangan rumah.

"Kenapa lo bilang kek gitu?" Aku melihat simpang tiga, sekitar sepuluh meter lagi. "Belok kiri, ya."

"Usahanya cari Marvel kek seadanya gitu. Dia bahkan nggak nelpon suaminya. Apa salahnya, Tante Santi kasih tahu suaminya. Terus dia bisa cariin Marvel juga. Ini malah nelpon Pak Slamet." Aku mendengar tarikan napas panjangnya. "Yang gue yakin dia itu dukun," imbuh Cael.

Aku mengembuskan napas berat. "Kita nggak tahu apa yang terjadi di dalam keluarga mereka. Tante Santi juga punya bayi. Lagian, bisa saja baru sekali ini dia bertemu Marvel. Lo nggak lihat tadi, betapa kakunya dia saat meluk Marvel?"

Aku merasa sesak lagi. Pikiranku dipenuhi oleh rasa kesal karena dunia kembali menghancurkan realita kehidupan seorang anak kecil!

"Dan masalah rasa empati orang, gue lihat Tante Santi lebih khawatir pada bayi di gendongannya. Mungkin saja dia lebih takut kehilangan bayinya, daripada mencari Marvel! Yang mengharuskannya melangkah keluar dari rumah."

Cael menghela napas tajam. Aku bisa melihat urat nadi di punggung tangannya menonjol. Dia memang terlihat geram, dengan asumsi negatif yang berputar di kepalanya.

"Gue tahu pemikirannya masih konservatif! Tapi setidaknya, lo bisa memahami keadaan Tante Santi," imbuhku sebelum Cael sempat mengomentari perkataanku.

Cael mendengus. "Gue nggak mau bahas Tante Santi lagi." Tiba-tiba Cael menepikan mobilnya.

Aku menatapnya bingung.

Tawa kecilnya terkesan tak percaya. Sebelah tangan di kepala, tampak memijat pelan pelipisnya.

"Lo kenapa? Sakit kepala?"

"Dikit," balasnya. "Lu bawa minyak angin nggak?"

Aku ingat tadi Tante Ema menyuruhku membawa minyak angin. Aku membuka tas. Mencari-cari di antara lipstik dan face mist ukuran travelling. Ketiganya memiliki ukuran tabung yang hampir sama.

J⃨e⃨j⃨a⃨k⃨ 𝗦𝗲𝘁𝗮𝗽𝗮𝗸Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang