Ch. One : I think I'm scared

2.1K 349 21
                                    

Chapter one

I think I'm scared

<Sitting in my room alone, and nobody will know. Nobody will go, except when I'm with you.>

Ada banyak kegundahan yang dialami Arvi ketika mendengar ucapan Kaivan. Ke rumah aku dulu, itu adalah mantra yang membayangi kepala Arvi. Apa dia akan baik-baik saja selama mengikuti lelaki itu hingga ke rumahnya? Apa di rumah Kaivan ada orang? Bagaimana bila di sana suasana sangat sepi? Apa yang akan mereka lakukan dengan situasi yang begitu sepi?

Kuku Arvi saling menggesek seiring dengan alam bawah sadar yang membawa gadis itu melakukannya. Kegugupan melanda meski dirinya sudah mengenal Kaivan beberapa bulan ini. Banyak kalimat yang muncul di kepala Arvi mengenai larangan terlalu dekat dengan Kaivan. Mereka yang mengingatkan seolah sangat paham perangai Kaivan sepenuhnya. Tapi selama beberapa bulan ini Kak Ivan nggak macem-macem.

Tok tok tok

Arvi terkejut ketika jendela mobil diketuk. Dia terlalu masuk dalam lamunan hingga lupa bahwa Kaivan sudah lebih dulu turun. Lelaki itu mengambil payung dan melarang Arvi turun. Sekarang, Kaivan meminta Arvi turun dengan payung yang sudah disiapkan.

"Kamu ketiduran di dalam?" tanya Kaivan.

"Hm? Nggak. Kenapa emangnya?"

"Lama banget buka pintu mobilnya. Aku kira kamu ketiduran."

Arvi tersenyum simpul dan menggeleng pelan. Mereka berada dalam satu payung ditengah hujan yang masih deras. Pandangan Arvi akhirnya bisa menangkap halaman cukup luas rumah Kaivan.

"Tadi Kak Ivan ambil payung ke dalem rumah?"

"Masa di rumah tetangga?" balas Kaivan tanpa senyuman.

Arvi berdecak dengan tanggapan lelaki itu. Di dalam rumah, barulah Arvi bisa melihat kaus Kaivan sudah basah. Padahal jarak dari mobi yang diparkirkan dengan rumah lelaki itu agak jauh. Kenapa pula Kaivan mau melakukannya?

"Harusnya tadi aku ikut Kak Ivan turun biar nggak bolak balik begini. Liat, tuh. Baju Kak Ivan jadi basah kuyup."

Kaivan menyunggingkan senyuman yang tipis, hingga Arvi mengartikannya sebagai seringai. Untuk sesaat, Arvi memang takut menatap lelaki itu, tapi tidak lama setelahnya dia merasa biasa saja karena Kaivan tidak melakukan apa pun.

"Kamu mau nunggu di sini atau mau ikut aku ke atas?"

"Apa?" sahut Arvi dengan terkejut.

Kenapa Kaivan menanyakan hal itu? Apa niat lelaki itu sebenarnya? Apa mungkin ada maksud buruk di baliknya?

"Apa yang kamu pikirin?" tanya Kaivan.

"Hah? Eh ... nggak! Nggak ada!"

Kaivan memilih percaya dan tidak mempebesar masalah. Mereka tidak perlu melanjutkan pembahasan yang hanya menambah kecanggungan bagi Arvi.

"Jadi, gimana? Kamu mau nunggu di sini?"

Arvi mengangguk dengan cepat. "Iya, aku nunggu di sini aja."

"Oke. Kalo kamu butuh aku, naik aja ke atas. Kamarku ada di pojok."

"Hm, oke!" Arvi menggerakan kepala naik dan turun. Dia yakin tidak membutuhkan lelaki itu untuk beberapa waktu. Yang terpenting adalah menunggu lelaki itu selesai begitu juga hujan mereda.

Arvi melihat sekeliling ruang tamu. Rumah yang Kaivan tinggali sangat megah, tapi terlalu sepi. Entah kemana semua orang, karena Arvi benar-benar tidak melihat keberadaan siapa pun.

"Mamanya Kak Ivan ke mana, ya? Nggak sopan banget aku masuk ke rumah mereka tanpa sopan santun."

Arvi tidak dibesarkan sebagai anak yang tak sopan. Biasanya, jika bertandang ke rumah temannya, maka dia akan menemui orang tua temannya dan menyalimi serta basa basi untuk mendekatkan diri. Jika seperti ini sepinya, mana bisa Arvi memperkenalkan diri.

DON'T KISS ME BACK!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang