Masa Kecil

0 0 0
                                    

Surakarta tahun 1997

Aku masih ingat siang itu, pulang sekolah seperti biasa bareng teman-teman dengan bersepeda. Jarak antara rumah dan sekolahku tak terlalu jauh, kira-kira dua kilo meter saja. Namun, tetap saja aku lebih memilih bersepeda dari pada jalan kaki. Sepulang sekolah, aku bisa menyusuri gang demi gang dalam jarak tersebut. Setiap hari dengan jalan pergi dan pulang yang berbeda.

Sekolahku berada di pinggir jalan Veteran, di daerah yang disebut Jamsaren. Tepat berada di tengah-tengah sepanjang jalan yang membentang dari arah timur ke barat. Aku terkadang mengayuh sepeda ke arah timur saat pulang sekolah. Setelah melewati dua perempatan besar lengkap dengan lampu merah masing-masing satu buah di depan tiap sisi jalan.

Aku akan sampai ke daerah Gading. Ada sebuah perempatan lebih kecil tanpa lampu merah. Jalan yang mengarah ke utara terdapat gapura yang diapit patung gajah dengan belalai yang terangkat di setiap sisinya menampakkan dua buah gading yang terhunus tajam. Jika menyusuri jalan itu, bakal sampai ke sebuah pasar yang terkenal sebagai ikon kota Solo; Pasar Klewer.

Namun, bila memutuskan melanjutkan perjalanan akan bertemu satu lagi perempatan dengan lampu merah. Pada sebelah kiri akan terlihat gapura jalan yang lebih besar dari gapura Gajah Gading tadi. Ada sebuah bola di puncak gapura bergambar atlas bumi dan bertuliskan PB X, yang berarti Paku Buwono sepuluh dalam angka Romawi.

Begitu berbelok ke kiri melintasi bawah gapura tersebut terdapat sebuah pos pemadam kebakaran menyambut tepat di depan pintu gerbang tinggi dari besi. Gerbang itu menandakan keberadaan alun-alun selatan, biasa disebut alkid atau alun-alun kidul. Pada sudut sebelah timur bagian selatan alun-alun terdapat kandang besar dari kayu yang memanjang dari timur ke barat.

Bukan, itu bukan kandang kuda melainkan kandang kerbau. Bukan kerbau biasa berwarna kelabu melainkan kerbau istimewa berwarna putih. Kerbau Kiai Slamet begitulah namanya, yang akan diarak keliling kota Solo saat malam tirakatan satu Suro dalam kalender Jawa, atau satu Muharram dalam kalender Hijriah.
Jika meneruskan menyusuri alun-alun selatan, akan bertemu dengan jalan yang bercabang dua; ke kiri dan ke kanan, membentuk sebuah jalan melingkar menyerupai capit kepiting yang berujung sama. Keraton Kasunanan Surakarta berada di tengah-tengahnya.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah dua saat aku sampai depan rumah, tak lupa aku melambaikan tangan kepada teman-teman yang masih meneruskan perjalanan, lantas memarkirkan sepeda di bawah pohon Belimbing yang rindang. Pohon yang selalu aku panjat ketika berbuah lebat. Sebenarnya tidak hanya pohon itu saja yang biasa aku panjat, tetapi masih ada pohon Kambu Bangkok dan Belimbing Wuluh yang menjuntai ke atas tepat berada di sebelah balkon kamarku yang ada di lantai dua. Terkadang kugunakan sebagai tangga alternatif menuju kamar.

Begitu aku melongokkan kepala ke ruang tengah, kulihat empat adikku sedang tertidur, sedang Ibu duduk bersandar dinding melipat jemuran yang telah kering sambil menonton televisi. Entah apa acara yang sedang dilihatnya itu. Aku masuk menyalami beliau lalu bergegas ganti baju.

"Bekalnya tadi habis dimakan, Nduk?"

"Iya, habis, Bu."

"Jangan lupa nanti sebelum berangkat ngaji sore. Peralatan makan yang ada di depan sumur, dibersihkan dulu, Nduk!"

Aku mengangguk kecil menanggapi perintah Ibu, meninggalkan beliau yang masih sibuk.

Aku lebih memilih menunda pekerjaan mencuci piring. Beberapa menit setelahnya, aku kembali ke halaman rumah lantas memanjat pohon jambu, memilih satu buah yang telah ranum kemudian memetiknya. Duduk di salah satu dahan, aku memakan jambu itu hingga tandas.

Tepat setelah melamun sambil menikmati dua buah jambu, sayup-sayup dari kejauhan terdengar suara adzan ashar berkumandang. Cepat-cepat aku turun dari pohon kemudian menuju sumur, menimba untuk mengisi bak hitam terbuat dari karet, menuang cairan kental berwarna hijau pekat ke sebuah wadah plastik kecil, membuat gelembung-gelembung sabun menggunakan spon warna kuning, baru kemudian mulai mencuci peralatan makan kotor.

Selesai mencuci peralatan makan, aku meletakkan piring-gelas-sendok ke sebuah rak yang terbuat dari stainless, lalu bergegas mandi sore, mengejar jadwal kegiatan selanjutnya; ngaji sore. Yah, walaupun tengil begini. Setiap hari jadwal kegiatanku selalu padat merayap.

Tak lama setelah shalat ashar, aku berpamitan kepada ibu, menerima uang lima ratus perak, kemudian mengayuh ke arah barat melewati hamparan sawah di kanan-kiri jalan.
Tempat tinggalku berada pada satu kelurahan di pinggiran kota Solo. Di sebuah kampung yang berjarak tak lebih dari tiga ratus meter dari sebuah pondok pesantren. Aku yakin banyak sekali orang-orang yang tahu akan keberadaan pondok tersebut. Namun, biarlah tak kusebutkan apa nama pondok pesantren itu. Biar saja kalian penasaran.

Pesantren itulah yang aku datangi setiap sore. Tepatnya di sebuah kelas yang ada di bangunan samping pesantren berbatasan langsung dengan sebuah gang kecil melewati sebuah sungai. Di ujung gang itu terdapat kawasan dan asrama khusus putra. Bangunan dua tingkat itu terlihat dari tempatku berdiri sekarang, menjulang gagah, atapnya menyembul di balik rimbunnya pepohonan juga atap rumah-rumah warga, ibarat benteng pertahanan.

Di samping jalan tepat di pinggir sungai sebelum jembatan itu terdapat sebuah pabrik yang memproduksi kerupuk. Aku pernah masuk ke dalamnya saat proses pembuatan kerupuk dilakukan. Di sana, aku melihat sebuah mesin besar yang ujung bawahnya mengerucut kecil. Terdapat lubang pada pipa itu, mengeluarkan adonan yang akan dibentuk menyerupai sarang burung yang tak beraturan.

Seorang pekerja akan mengambil adonan yang telah terbentuk untuk dipindahkan ke sebuah papan besar dan panjang yang terbuat dari anyaman bambu, kemudian menjemur adonan-adonan yang tersusun rapi tersebut di bawah terik mentari. Adonan yang telah kering dijemur itu selanjutnya digoreng menggunakan wajan besar yang penuh minyak. Terkadang aku bergidik ngeri jika membayangkan, seandainya tanpa sengaja tercebur ke dalamnya.

Beberapa kali aku dan teman-teman masuk untuk bermain ke kawasan putera. Tentu saja mereka membiarkan kami berkeliaran di kawasan tersebut seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Malah tak jarang beberapa dari mereka mengajak kami bermain atau sekedar mengobrol basa-basi. Banyak juga yang cuek saja menganggap kami semacam makhluk tak kasat mata.

Bila beruntung, aku dan teman-teman akan melihat para santri putera berdiri berbaris teratur. Mereka akan berlari keliling kampung sebelum berlatih bela diri. Tentu saja anak-anak kecil seusiaku bakal bersorak-sorai ikut menirukan setiap gerakan walau tak tentu.

***

PENDAR MUTIARA TERPENDAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang