Lebih Dekat

0 0 0
                                    

Sore kesekian yang aku lalui, sama seperti hari-hari yang telah lalu. Aku sudah duduk manis di bangku panjang terbuat dari kayu, menghadap ke sebuah meja, menunggu antrian membaca Iqro' dengan menulis huruf demi huruf Hijaiyah di buku tulis.

Terkadang selingan suara-suara dari kamar mandi yang berada di sebelah kelas terdengar. Suara gayung beradu dengan kecipak air. Suara-suara perempuan dengan bahasa yang pada saat itu tidak aku mengerti sama sekali apa artinya.

Kadang-kadang ketika kelas mengaji sore telah usai, aku berpapasan dengan beberapa perempuan tadi, yang usianya terpaut jauh di atasku. Mereka memakai pakaian serupa walau tak sama. Baju-baju panjang hingga lutut dipadukan dengan rok panjang semata kaki, juga kerudung-kerudung kain yang dikaitkan dengan peniti di dagu. Ada juga yang memakai baju terusan hingga mata kaki tanpa potongan sama sekali.

Sesekali aku juga mendapati mereka duduk berjajar saling berhadapan di depan meja-meja panjang di depan sebuah nampan bulat dari plastik. Satu nampan untuk lima hingga enam orang. Lalu setelah genap teman satu kelompok berkumpul, mereka makan bersama dengan teratur. Sesuap demi sesuap dari gundukan nasi dengan sayur dan lauk.

Aku tak tahu persis, mereka makan dengan lauk dan sayur apa. Yang aku tahu, setiap hari menunya pasti berbeda.

"Umiku bilang, besok aku juga bakal mondok seperti mbak-mbak di sini," ujar Amel, yang mempunyai tahi lalat di hidung.

"Nggak enak, deh. Nanti aku nggak bisa nonton Doraemon lagi," keluh Dewi, teman yang matanya bulat besar.

"Kamu mau lanjut sekolah ke mana, Ai?" tanya El tiba-tiba.

"Lihat Mbak-mbak pondok. Kayaknya enak mondok," sahutku pelan menyerupai gumaman.

"Mondok di sini juga?" tanya Amel.

"Entah. Kan, belum tahu mau mondok apa nggak," jawabku sembari mengangkat bahu.

"Mondok aja di sini bareng aku," bujuk Amel.

Perkataan Amel berlalu begitu saja karena kami sudah berjalan kembali menyusuri koridor-koridor panjang dari satu bangunan ke bangunan lain. Kepala-kepala kecil kami bergantian melongok ke setiap ruangan yang dilalui. Kelas-kelas kosong di lantai bawah.

Deretan kamar mandi yang berjajar dengan beberapa bak, gayung, dan sikat tergelatak di depannya. Ranjang-ranjang bertingkat yang disusun rapi di dalam kamar-kamar luas. Terdapat juga banyak lemari dengan bentuk serupa yang dijejer menutupi satu sisi dinding kamar.

Tak berhenti sampai di lantai bawah saja, kami menjelajahi komplek asrama puteri. Langkah-langkah kami beralih ke anak tangga yang mengarah ke lantai atas. Lantai kedua, kami masih mendapati deretan kamar asrama, pun pada lantai ketiga. Barulah pada lantai keempat, kami sampai ke atap bangunan yang dibiarkan terbuka tanpa genteng. Hanya cor-coran dengan tembok setinggi bahu anak-anak kecil seperti kami yang mengelilinginya.

Lantai paling atas itu difungsikan sebagai jemuran. Kami bisa melihat berbagai jenis dan warna baju bergelantungan pada tempat yang telah disediakan menggunakan gantungan baju. Celana-celana panjang, juga kerudung-kerudung, aneka bentuk pakaian pun ada. Dewi dengan kocaknya menunjuk salah satu pakaian yang menyerupai kaca mata. Lalu kami berempat pun cekikikan nggak jelas.

Puas berkeliling, kami memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing.
Sepekan berselang dari pengalaman menyusuri komplek asrama santri tak lama libur sekolah pun tiba. Suatu siang yang terik saat aku sedang menyetrika baju seragam sekolah ku sempatkan untuk berbincang ringan bersama Ibu.

"Bu, lulus sekolah nanti aku boleh mondok?" tanyaku dengan tangan masih sibuk bergerak maju-mundur.

"Kamu beneran mau mondok, Nduk?" tanya Ibu.

Beliau yang duduk di bawah sampai mendongak ke arahku, karena sedang menyusui adik laki-laki satu-satunya. Gegas aku menjawab dengan anggukan.

"Ibu usahakan, ya?"

Aku mengangguk lagi. Belum terlalu mengerti bahwa permintaanku yang spontan itu, membutuhkan persiapan dana yang tidak sedikit. Aku anak pertama dari lima bersaudara pada saat itu. Bisa dibayangkan bukan?

Selesai menyetrika seragam yang hanya tiga setel itu, aku menuju halaman untuk melakukan kebiasaanku. Apalagi yang aku lakukan selain memanjat pohon jambu bangkok yang menjadi tempat favorit untuk duduk merenung. Aku akan turun hanya saat ada pembeli di warung Ibu. Usaha kecil-kecilan untuk membantu perekonomian keluarga.

Tahun itu belum ada krisis moneter. Aku masih mendapati harga satu bungkus mie instan goreng masih dua ratus rupiah. Sebungkus rokok juga masih dikisaran harga seribu hingga seribu lima ratus rupiah saja. Aku ingat, karena aku sering melayani pembeli menggantikan Ibu saat kerepotan mengasuh adik-adik. Masa kecil yang saat ini sudah samar-samar aku ingat keseluruhannya.

Hanya momen-momen seperti diajak Abah touring mengendarai motor Black-Bravo ke pesisir pantai selatan yang masih aku ingat, menjelajah satu demi satu pantai yang banyak bertebaran setelah menaklukkan medan jalan yang berkelok-kelok naik-turun layaknya ular raksasa sedang melingkar.

Terkadang pada kesempatan lain, berkendara naik ke puncak Gunung Lawu, walau hanya sampai di depan base camp pendakian, Cemoro Kandang atau Cemoro Sewu. Lalu kemudian meneruskan perjalanan hingga sampai ke Telaga Sarangan.

Biasanya aku dan dua orang adikku yang diajak touring jalan-jalan saat beliau berkesempatan libur. Sedang Ibu dan dua orang adik terkecil ditinggal di rumah saja. Kalau sudah seperti itu, aku akan dibekali Ibu dua carik selendang batik. Berjaga-jaga untuk mengikat salah satu adikku ketika dalam perjalanan nanti tertidur.

Dari Abah jugalah aku belajar berenang. Beliau juga suka mengajak kami ke kolam renang umum saat punya waktu senggang di hari Minggu.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 03, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PENDAR MUTIARA TERPENDAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang